Lihat ke Halaman Asli

Uni Eropa Ditentang dari Segala Penjuru

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Uni Eropa sedang digempur dari segala penjuru. Bagi kebanyakan kalangan Kanan, institusi itu tak lebih dari lembaga birokratis yang akhirnya menutup semangat daya saing organisasi regional tersebut. Sementara itu, kalangan Kiri berpendapat, cara kerja Uni Eropa tak lebih beda dengan IMF yang memaksakan liberalisasi ekonomi di Amerika Latin tahun 1990-an.

Di negara kreditor seperti Finlandia dan Jerman, warganya marah karena harus menanggung gagal bayar hutang di zona euro, sembari mencemaskan hal itu sebagai tanggung jawab fiskal yang hanya akan menguntungkan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab,

Di negara pengutang seperti Italia dan Inggris, penduduknya jengkel mengenai pemaksanaan untuk penghematan fiskal, yang dianggap resep paksaan dari Uni Eropa, dan telunjuk mereka kuat menuding sebagai perilaku Jerman belaka.

Jajak pendapat Eurobarometer menunjukkan adanya kepercayaan kepada Uni Eropa yang semakin pudar sejak muncul krisis zona euro. Sebelum krisis lahir, Inggris adalah negara paling terkemuka yang meragukan masa depan Uni Eropa dan Perdana Menteri David Cameron telah sesumbar untuk mengadakan referendum guna meninggalkan Uni Eropa jika kelak ia memenangi pemilu masa bakti berikutnya. Bahkan suara-suara ketidakpercayaan terhadap Uni Eropa melonjak lebih tinggi dibandingkan Inggris di negara-negara pendukung utama zona euro pada tahun 2007.

Di Prancis, Marine Le Pen dari Gerakan Kanan Nasional (the Right National Front), yang menghendaki Prancis keluar dari Uni Eropa, diharapkan mampu mendulang suara 20% dalam pemilu Prancis awal bulan ini.

Di Italia, Beppe Grillo, yang menggawangi Gerakan Bintang Lima (Five-Star Movement) , yang menginginkan kemurnian Eropa, diharapkan akan meraup suara lebih banyak lagi. Mereka telah memiliki 13 kursi di Parlemen Eropa.  Kecenderungan ini dapat memecah suara Parlemen Eropa yang menghambat reformasi zona euro  yang bagi para elitnya hanya akan memperparah krisi. Parlemen Eropa menghadapi kenyataan semakin banyak barisan yang menghendaki pembubaran Uni Eropa.

Salah satu negara di mana golongan yang menolak Uni Eropa tidak lebih dari 2 digit, yaitu Jerman, kemudian menjadi negara yang dianggap paling menentukan masa depan Uni Eropa. Sejak meledaknya krisis euro, Kanselir Jerman Angela Merkel nampaknya getol untuk mengumandangkan “tindakan yang lebih besar lagi bagi kepentingan Eropa.” Banyak pengamat memandang hal ini menunjukkan besarnya komitmen Jerman terhadap Uni Eropa. Namun situasi dinamika politik di Jerman begitu banyak berubah, seperti halnya di negara lain, ketika jajak pendapat Eurobarometer pada 2007 menunjukkan semakin besarnya orang yang meragukan masa depan Uni Eropa dan suara semacam ini nampaknya telah menjadi daya tarik baru.

Sekalipun Merkel telah terpilih kembali sebagai kepala eksekutif pada September tahun lalu, namun ketegasan langkahnya untuk melaksanakan setahap demi setahap cara menanggulangi krisis, telah memperbesar kekuatan partai penentang Uni Eropa, the Alternative fir Deutschland (AfD) sebanyak 5% suara pemilih dan nyaris memperoleh kursi di Bundestag (DPR). Ini hasil mengejutkan karena partai itu baru dibentuk Februari sebelumnya.

AfD, yang mengecam kebijakan Merkel, diharapkan akan memperoleh suara yang lebih bagus lagi untuk Parlemen Eropa. Jajak pendapat terakhir memperkirakan partai ini akan memperoleh 5-6% suara. Karena Mahkamah Konstitusi Jerman telah membatalkan ketentuan ambang batas suara sebanyak 3%, peluang mereka untuk memperoleh kursi di Parlemen Eropa menjadi semakin terbuka.

Merkel menuduh AfD merupakan partai beraliran Kanan, sebuah bentuk baru dari Neo-Nazi yang akan merusak DPR seperti di masa lalu. Suatu hal yang menarik untuk diamati, dalam rangka pemilihan Parlemen Eropa, AfD akan bergabung dengan British Conservative yang memiliki visi serupa. Partai pendukung Merkel, Christian Democrat Party, membaca situasi ini sebagai “deklarasi perang.” Itu hanya akan memperkuat gagasan Perdana Menteri Inggris David Cameron untuk melakukan renegosiasi ulang dalam  melakukan hubungan terhadap Uni Eropa.

Di tingkat domestic, para pengamat cemas kelahiran AfD akan memperbesar jumlah kalangan penentang Uni Eropa di lapisan intelektual. Bagaimanapun, integrasi Eropa dirintis—berbeda dengan negara lain—oleh kalangan intelektual sehingga bergabungnya Jerman ke Uni Eropa, termasuk penerimaan euro dan Traktak Lisbon (konstitusi Uni Eropa) tidak pernah melalui referendum.

Sejak krisis euro keadaan berubah. Para intelektual yang tergabung dalam gerakan Kiri maupun Kanan, nampaknya mulai jengkel dengan kebijakan yang digulirkan Merkel mengenai Uni Eropa. Jelas, bagi negara dengan peran intelektual yang masih begitu berpengaruh seperti Jerman, kondisi itu akan mengkhawatirkan dibandingkan pengaruh gagasan AfD.

Pendorong utama perubahan itu adalah peran Jerman yang begitu dominan dalam kebijakan pemberian dana talangan untuk mengatasi krisis di zona euro. Kalangan intelektual tidak sependapat dengan komitmen Mario Draght, Presiden Bank Sentral Eropa, yang dikemukakan pada musim panas 2012 yang lalu, untuk “melakukan segala hal yang memungkinkan” dalam rangka menyelamatkan euro dan lalu menciptakan skema penalangan hutang yang dikenal sebagai Outright Monetary Transactions. Bagi banyak pihak, skema itu tidak lebih pelarian sementara tanpa mengkaji hakekat krisis euro.

Di Jerman hal itu nampaknya dikecam. Seorang sejarawan muda Jerman, Dominik Geppert, mencemaskan hal itu dalam buku yang baru saja diterbitkan  bahwa “Maastricht”, traktat yang menciptakan mata uang tunggal, di masa depan kemungkinan akan dianggap serupa dengan Traktat Versailles (28 Juni 1919).

Traktat ini adalah salah satu perjanjian damai pada akhir Perang Dunia I. Ini mengakhiri perang antara Jerman dan Sekutu. Itu ditandatangani tepat 5 tahun setelah pembunuhan Archduke Franz Ferdinand. Perjanjian itu telah didaftarkan oleh Sekretariat Liga Bangsa-Bangsa pada tanggal 21 Oktober 1919. Dari sekian banyak ketentuan dalam perjanjian tersebut, salah satu yang paling penting dan kontroversial adalah syarat bahwa  "Jerman menerima tanggung jawab tindakannya dan sekutu-sekutunya yang telah menyebabkan kerugian dan kerusakan  selama perang." Perjanjian itu memaksa Jerman untuk melucuti senjata, membuat konsesi teritorial, dan membayar ganti rugi kepada negara-negara tertentu yang telah membentuk kekuatan Entente, aliansi Inggris, Prancis, dan Rusia.

Di samping perdebatan ekonomi, juga mengemuka debat dalam lapangan hukum. Pakar hukum tata negara seperti Udo di Fabia dan Paul Kirchoff, yang keduanya bekas hakim konstitusi dan termasuk kalangan yang meragukan Uni Eropa—dalam menangani krisis, Uni Eropa telah mencampakkan prinsip demokrasi dan hukum dan menciptakan “Verfassungsnot”, atau hukum tata negara darurat. Mereka membandingkannya dengan langkah-langkah yang pernah diambil Nazi. Dalam wawancara dengan majalah Der Spiegel tahun lalu, Konrad Adam (71 tahun), bekas wartawan terkemuka harian Frankfurter Allgemeine Zeitung yang sekarang menjadi pemimpin AfD mengatakan, para pihak yang menentang Merkel sudah menjalankan aksi yang serupa dengan pihak yang menentang Nazi.

Wolfgang Streeck, Direktur Max-Planck Institue, yang telah menerbitkan buku dalam bahasa Inggris dengan judul Buying Time: The Delayed Crisis of Democratic Capatalism, mengatakan bahwa Uni Eropa adalah mesin liberalisasi yang membuat pasar tenaga kerja lebih fleksibel dan memaksakan penghematan APBN  yang bertentangan dengan kehendak warganegara.

Heribert Prantl, seorang komentator surat kabar berhalauan kiri Suddeutsche Zeitung, mengatakan bahwa dalam Traktat Maastrich tidak ada satu ketentuan pun yang mengizinkan untuk kebijakan dana talangan karena setiap anggota bertangung jawab terhadap hutang mereka masing-masing.

Kalangan pendukung Uni Eropa nampaknya mulai mendapat tentangan dari segala penjuru yang mengklaim dirinya sebagai penyambung lidah rakyat. Di Jerman kalangan intelektual nampaknya telah menggeser pemikirannya. Seperti disampaikan oleh Gideon Rachman, dua lembaga paling berwibawa di Jerman yaitu Mahkamah Konstitusi dan Bank Sentral, sekarang telah menentang kebijakan dana talangan. Merkel diharapkan meninjau kembali kebijakannya, sekalipun langkah-langkahnya oleh kalangan pakar ekonomi dibutuhkan untuk menyelesaikan krisis dan mengembalikan pertumbuhan Eropa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline