Lihat ke Halaman Asli

Apakah Tiongkok Telah Meninggalkan Diplomasi Gaya Deng Xioping?

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekalipun dikenal sering menjalankan diplomasi high profile, akan tetapi juga kadang-kadang menjalankan diplomasi provokatif yang menggelishkan Asia dan kawasan sekitarnya. Itulah gaya politik internasional Tiongkok, yang oleh Presiden Xi Jinping digambarkan sebagai “seekor singa yang telah memperoleh kesadarannya kembali.”

Kecenderungan itu, yang berkebalikan dengan penyebutan oleh Napoleon bahwa Tiongkok adalah singa yang sedang tidur, telah mencemaskan banyak kalangan bahwa Xi akan meninggalkan doktrin diplomasi yang dirintis oleh Deng Xioping, “menyembunyikan kemampuan seseorang dan menunggu waktu yang tepat.” Bahkan para pengamat berspekulasi bahwa doktrin itu telah sungguh-sungguh ditinggalkan belakangan ini.

Xi telah menampilkan gaya diplomasi yang mengejutkan. Bagaimanapun, ia di tahun-tahun awal menjalankan kepresidenan Tiongkok, masih fokus kepada persoalan dalam negeri seperti konsolidasi kekuasaan, memberantas korupsi, dan menekan angka ketidakpuasan public terhadap pemerintah. Namun, Xi berhasil menampilkan kesan bahwa ia bukan tipe pemimpin semacam itu.

Pada Desember 2012, hampir sebulan sesudah ia diberi mandat resmi dalam Konferensi Partai Komunis yang ke-18, ia segera menggelorakan semboyan politik “Impian Tiongkok” untuk merangsang semangat kebangsaan diantara warganegara supaya tampil sebagai negara yang kuat.

Sejak 2012, bagaimanapun diplomasi politik dan militer Tiongkok tampil lebih agresif, dalam kecepatan yang lebih kuat, sejak negara ini memproklamasikan keterbukaan pada tahun 1978.

Diantara banyak bukti, Xi memperkenalkan model “major-power relation” dalam membangun jalinan dengan Amerika Serikat, suatu model keterikatan yang menghindarkan konflik saat sebuah kekuatan adidaya mencoba untuk mempertahankan hegemoninya. Xi dianggap sukses memperkenalkan kebijakan luar negeri itu ketika Presiden Obama mengadopsi gaya itu dalam sebuah kesempatan pertemuan tingkat tinggi di California di bulan Juni 2013 yang lampau.

Belakangan Xi juga menjalankan diplomasi ofensif. Ke kawasan Utara, dia telah mengunjungi Rusia sebanyak 4 kali, yang menunjukkan persekutuan Beijing-Moskow semakin erat. Ke kawasan selatan, bersama Perdana MenteriLi Keqiang, ia mengadakan muhibah ke negara-negara Asia Tenggara pada Oktober 2013 untuk mengimbangi agresivitas Tiongkok dalam kasus Laut Tiongkok Selatan. Xi juga mempererat hubungan dengan negara-negara Asia Tengah (yang kaya minyak) untuk mengimbangi pengaruh Rusia dan Amerika Serikat.

Militer juga telah menjalankan peran relatif baru di bawah kendali Xi. Pihak militer telah unjuk kekuatan antara lain dengan mengadakan patroli di kawasan Laut Tiongkok Selatan, sebuah pesan untuk mempertegas ambisi negeri panda itu dalam mengklaim bagian territorial yang strategis itu. Selain itu, kekuatan pertahanan udara Tiongkok sejak November 2013 mengambilalih kendali Jepang atas wilayah yang diklaim Tiongkok, yaitu wilayah kepulauan Senkaku, di kawasan Laut Tiongkok Timur.

Berbagai kejadian itu bagi sementara komentator cukup meyakinkan bahwa Xi telah meninggalkan gaya diplomasi Deng yang dirumuskan sejak akhir 1980-an dan awal 1990-an, untuk meredam tekanan Barat atas peristiwa Tiannanmen, sekaligus sebagai reaksi atas runtuhnya Uni Soviet pada 1991.

Pada 28 Maret 2014, saat mengunjungi Prancis, Presiden Xi dengan tegas mengubah kata-kata Napoleon dengan berujar, “singa itu kini telah terbangun secara damai, menyenangkan, dan beradab.”

Xi menghendaki ketegasan untuk isu-isu yang menyangkut kepentingan Tiongkok dan meminta ketegasan negara lain untuk menghormatinya.

Memang sepantasnya Tiongkok mematuhi doktrin Deng untuk mempersiapkan diri sebagai negara adikuasa dengan terlebih dahulu mencapai kesetaraan politik dan militer.Tindakan-tindakan yang prematur dinilai akan kontra produktif dalam membangun “kebangkitan” Tiongkok karena akan memancing reaksi dari negara lain dan bisa-bisa melemahkan ambisi kebangkitan itu sendiri.

Lebih penting lagi, Tiongkok hendaknya siap untuk menghadapi tanggung jawab dan ancaman-ancaman sehubungan dengan rintisan kebangkitan negara itu.Dunia mengharapkan Tiongkok bersikap aktif dalam menanggapi isu global yang penting.

Menjaga kontinuitas diplomasi gaya Deng dan persiapan ke arah tindakan yang lebih baru nampaknya menjadi kebutuhan penentu sebelum Tiongkok resmi menyandang predikat adikuasa dengan segala beban dan tanggung jawabnya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline