Lihat ke Halaman Asli

Mengapa Negara Gagal: Jalinan Ekonomi dan Politik

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menarik membaca buku Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty, karangan Daron Acemoglu (ekonom MIT) dan James A. Robinson (pakar pemerintahan Harvard University). Buku ini diterbitkan oleh Crown Business, New York, 2012, setebal 529 halaman.

Why Nations Fail (Mengapa Negara Gagal) memberikan kontribusi menarik untuk menjawab pertanyaan klasik mengapa sebuah negara dikategorikan miskin sementara negara lain dikenal sebagai negara kaya. Analisis diperkaya dengan pesan-pesan positif untuk menciptakan kelembagaan (baca: kebijakan ekonomi) yang lebih baik dan mengurangi kemiskinan.

Tesis utama para penulis berinjak pada “suatu negara gagal disebabkan kelembagaan ekonomi ekstratif yang memberikan insentif yang dibutuhkan bagi tiap orang untuk menjamin, berkarya, dan melakukan inovasi.” Kelembagaan ekonomi ekstratif ini dijalankan oleh segelintir elit yang menguras sumber daya negara untuk kepentingan sendiri, dan hanya menyisakan sedikit hasil untuk kepentingan rakyat. Selanjutnya, kelembagaan politik ekstratif mendukung eksisnya kebijakan ekonomi itu dengan meneguhkan kekuasaan absolut para elit.

Oleh kedua penulis, politik maupun ekonomi yang bercirikan ekstratif itu diuraikan secara detail dan berlangsung dalam lingkungan yang berbeda-beda, yang selalu merupakan akar dari kegagalan negara. Bahkan, kata penulis, alasan lain mengapa suatu bangsa gagal karena kegagalan negara mereka sendiri. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi berpuluh-puluh tahun pemerintahan yang memuja kelembagaan ekstratif. Menurut para pengarang, suatu kelembagaan inklusif, pada lain pihak, akan menyedikan kesempatan setara diantara semua warganegara di suatu negara untuk menuju kesejahteraan yang lebih luas dan berkelanjutan. Lebih lanjut dikatakan, kelembagaan inklusif berhubungan dengan perkembangan siklus kebajikan, yang mana siklus seperti itu merupakan tipikal dari kelembagaan inklusif.

Buku “Why Nations Fail” merupakan penulisan bagus dengan uraian persuasif dan membangkitkan minat akan kejadian di paruh melenium kehidupan umat manusia. Menurut saya, nilai terpenting dari sumbangan buku ini adalah narasi menurut sudut pandang anti elit, anti rasis, dan anti colonial.Juga uraian mengenai tahapan pemberdayaan untuk keluar dari kelembagaan ekstratif untuk memaksa para elit menciptakan kelembagaan yang lebih plural. Pandangan yang “lebih teoritis dibandingkan praktik” juga berharga, yang berurutan secara terbatas dalam uraian buku ini.

Perhatian utama akan melibatkan konsep “pasar inklusif”, di bawah payung besar yang dinamakan kelembagaan inklusif. Sekalipun tak ada bagian dalam buku ini yang menguraiakan definisi operasional mengenai kelembagaan tersebut, mudah saja untuk menentukan ciri-ciri penting dari pasar inklusif tersebut: rule of law, hak-hak kepemilikan, sistem paten, stabilitas makro ekonomi, destruksi kreatif, dan insentif untuk mendorong inovasi. Sebenarnya formulasi kebijakan semacam itu sudah mengalami kegagalan di bawah payung “kelembagaan ekonomi baru” (new economic institution).

Pemikiran ini berjalin kelindan dengan paham neoklasik, yang hampir mengemuka dalam setiap kajian ekonomi. Kedua pemikiran itu telah ditelanjangi habis-habisan (misalnya dalam karangan Ha-Joon Chang, 2007) saat gagal mengantisipasi krisis ekonomi global periode 2007-2008 lampau.

Pemikiran Acemoglu dan Robinson mengenai “pasar inklusif” dekat dengan kesetaraan kesempatan, tetapi melupakan ketersediaan sumber daya yang tidak seimbang. Ketidakseimbangan itu akan selalu ada baik dalam kelembagaan inklusif maupun pasar inklusif, karena hanya akan menguntungkan (secara ekonomi, politik, sosial, maupun cultural) bagi kelompok tertentu dalam masyarakat.

Bisa jadi kelompok masyarakat tertentu akan memangkas hasil-hasil positif dari pengembangan kelembagaan, sementara kalangan yang tidak beruntung tetap saja merana akibat kesulitan pemenuhan kebutuhan sehari-hari.

Dengan demikian bisa saja dikatakan adanya scenario asimetris yang akan merusak makna penting pembangunan untuk masyarakat secara keseluruhan dan juga memperburuk ketidakseimbangan sumber daya dalam siklus yang tidak berkesudahan. Bahkan gagasan “kebebasan untuk semua” acapkali justru mendorong terbentuknya ketidakseimbangan sumber daya itu sendiri.

Scenario itu akan melibatkan masyarakat, di mana sejumlah orang atau entitas akan memulai dengan kekuasaan yang justru akan menghancurkan impian para penulis karena munculnya 2 hal: elitism dan otoritarianisme. Dewasa ini, ketidaksetaraan di Afrika Selatan semakin buruk sejak diakhirnya politik apartheid, termasuk ketidaksetaraan diantara kelompok etnis (Leibbrandt, et. al., 2010). Implementasi demokrasi , dihapuskannya sanksi bagi pelaku apartheid, dan pelaksanaan pasar inklusif hanya sedikit saja menghasilkan situasi positif bagi sebagian masyarakat sejak tahun 1994. Terang tidak akan menjadi perdebatan untuk memahami bahwa munculnya kelompok-kelompok penguasa sumber daya baru, ditambah dengan situasi politik baru, telah memberikan keuntungan bagi pelaksanaan kelembagaan tersebut. Buku ini akan menjanjikan keuntungan besar dalam pembahasan hasil-hasil semacam itu yang sesungguhnya jauh dari aspirasi yang diharapkan.

Dalam buku ini juga ada penjelasan yang meragukan mengenai faktor-faktor pembangunan komparatif. Sekalipun disadari tidak ada satu pun konsep tunggal yang mampu menerangkan segala hal, tetapi mestinya para penulis memiliki tanggung jawab untuk menguraikan isu-isu yang relevan. Pertama-tama dengan mengklarifikasi dan menguji kepentingan mereka dengan fokus kepada faktor-faktor tertentu. Selanjutnya, para penulis mestinya dapat menyingkirkan faktor-faktor yang tidak relevan dengan analisis.

Acemoglu dan Rabinson nampaknya melakukan kedua hal sekaligus, tetapi dalam uraian yang terbatas.Seperti sudah ditulis, mereka menunjuk faktor geografi, kebudayaan, dan aneka rupa teori modernisasi. Bahkan mereka mengaku peran penting kolonialisme, perbudakan, rasisme, transisi kritis, dan kontigensi.

Uraian tentang ketidaksetaraan efek industrialisasi, ketimpangan sebagai faktor pendorong, menjadi tidak memuaskan. Parahnya, penulis juga tidak memperhitungkan situasi pasca colonial, seperti perang dingin, maupun rasisme berdasarkan warna kulit yang telah berlangsung selama ini. Penjelasan berikutnya menyangkut relasi antara kemiskinan dan kemakmuran suatu bangsa dewasa ini merupakan sesuatu yang buruk, tetapi, globalisasi sekarang ini berlangsung dengan rasis. Proses globalisasi itu sesungguhnya berakar dari kolonialisme barat dan perdagangan budak akibat perbedaan warna kulit (Lihat Kelliciougle, 2010).

Masih menunjukkan ketimpangan serupa, buku ini juga secara serius mengabaikan peran negara dan institusi internasional yang begitu digdaya, seperti IMF, WTO, Bank Dunia, dan korporasi multinasional. Capaian pengembangan kelembagaan yang disajikan dalam buku ini (dalam tingkatan domestic dan makro) sesungguhnya dipengaruhi oleh konfigurasi internasional, sesuatu yang nyaris tidak dibahas dalam buku ini.

Perusahaan multinasional, yang kadang jauh lebih berkuasa dibandingkan pemerintahan negara tempat beroperasinya, menguasai hukum internasional, akses informasi, dan mempengaruhi ekonomi, termasuk desain kebijakan suatu negara dan sector bisnis.

Lihat saja situasi buruk di Zimbabwe yang banyak dibicarakan dalam buku ini, kekejaman pemerintah colonial Inggris dan pengaruh Bank Duni dalam decade 1990-an, mestinya menjadi uraian pelengkap di samping analisis mengenai kritik terhadap kepemimpinan Robert Mugabe dan kroni-kroninya.

Selanjutnya, ada suatu bangsa yang dikategorikan memiliki kelembagaan inkulisif tetap saja mempertahankan semangat ekstratif dibandingkan dengan negara lain. Supaya adil, sebuah contoh dikemukakan dalam buku ini: kasus intervensi Irak tahun 2003. Malangnya, titik perhatian terhadap fakta itu tidak disampaikan hingga akhir analisis. Kekacuan internasional seperti itu merusak pengembangan kelembagaan. Semangat pemburu rente oleh aktor-aktor internasional telah memunculkan ketidakseimbangan kekuasaan yang tidak tergantung kepada pilihan kelembagaan itu sendiri.

Satu hal lagi yang dilalainkan dalam buku ini: preseden kelembagaan. Secara panjang lebar, para penulis berujar mengenai sulitnya mengembangan kelembagaan inklusif, dengan menunjuk pada kasus Revolusi Inggris tahun 1677 yang menjadi titik balik bagi kemunculan kelembagaan inklusif.

Sekalipun dua pernyataan itu dapat disetujui namun masuk akal untuk dikatakan bahwa pengembangan kelembagaan di Barat akan tertunda, sekalipun telah muncul, karena tetap mempertahankan kebijakan ekonomi ekstratif seiring dengan perampasan dan penjajahan yang kejam di seluruh dunia sejak akhir abad ke-15. Dalam kasus seperti itu, analisis keseluruhan harus ditinjau ulang secara mendasar, karena dorongan ekonomi yang lebih besar dibandingkan dengan semangat membangun kelembagaan.

Namun demikian, buku ini tetap merupakan bacaan yang bagus, menampilkan naratif komplet mengenai sejarah ekonomi dunia hingga dewasa ini. Malangnya, hanya sedikit saja hal yang dapat dijawab dari pertanyaan Why Nations Fail.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline