Lihat ke Halaman Asli

Staf Kepresidenan, Kekuasaan di Balik Tahta

Diperbarui: 17 Juni 2015   19:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14143130401589570503

[caption id="attachment_369379" align="aligncenter" width="624" caption="Istana/Kompasiana (kompas.com/ARSIP PERPUSTAKAAN NASIONAL RI)"][/caption]

Beredar kabar di media bahwa Presiden Joko Widodo akan menetapkan sebuah jabatan baru: Kepala Staf Kepresidenan. Barangkali ia akan memperoleh kedudukan setingkat menteri negara, karena disinyalir akan diumumkan bersamaan dengan pengumuman kabinet yang direncanakan berlangsung hari ini (26/10). Belum ada konfirmasi resmi soal itu dan pula belum ada deskripsi lengkap soal jabatan itu. Namun dipastikan ia akan menjadi ring satu dalam unit kerja birokrasi yang memberikan layanan dan dukungan sehari-hari kepada Presiden.

Pada masa Presiden Soeharto, awalnya unit kerja birokrasi yang memberikan layanan dan dukungan sehari-hari melekat kepada Sekretariat Presidium Kabinet (1966-1968). Di samping itu juga Soeharto dibantu oleh tim supra kabinet yang dikenal sebagai Staf Pribadi Presiden (Spri) dan dibentuk sejak 1966. Tahun 1968, Spri dibubarkan dan Soeharto membentuk Asisten Pribadi Presiden (Aspri) yang terdiri atas perwira-perwira angkatan darat. Sekalipun bukan birokrasi resmi, ia menjadi mata dan telinga Presiden, yang mana sosok seperti Ali Moertopo dan Sudjono Hoemardani disebut-sebut berpengaruh terhadap pribadi dan pandangan politik Soeharto. Usai peristiwa Malari 1974, Aspri dibubarkan.

Untuk urusan penegakan keamanan dan sistem hukum, Soeharto mempertahankan Panglima Komando Operasi Pemulihanan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib), yang begitu menakutkan sepanjang 1966-1988. Berdasarkan hukum, Kopkamtib tercatat memiliki dasar hukum pertama kali lewat Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) berupa perintah presiden Soekarno untuk mengambil langkah yang dianggap perlu untuk menjamin stabilitas kemananan nasional kepada Mayjend Soeharto yang hingga kini Supersemar tersebut juga masih menjadi misteri.

Selama 23 tahun dari pemerintahan Orde Baru, Kopkamtib telah menjadi gugus tugas pemerintah militer untuk melaksanakan kegiatan keamanan dan intelejen. Lewat serangkaian kegiatan tersebut, Kopkamtib dapat menggunakan seluruh aset dan personalia pemerintahan sipil di Indonesia demi kepentingan apa yang disebut pemerintah Orde Baru sebagai mempertahankan pelaksanaan pembangunan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pada tahun 1973, MPR mengeluarkan TAP/MPR No.X/MPR/1973 tentang Peraturan dan Fungsi Kopkamtib dalam Sistem Keamanan Nasional dan ditindaklanjuti dengan Keputusan Presiden No. 7/1978 tentang organisasi Kopkamtib. Soeharto memegang jabatan Pangkopkamtib pada 1966-1969, kemudian digantikan oleh M. Panggabean (1969-1971), Soemitro (1971-1974), Soedomo (1978-1983), dan L. B. Moerdani (1983-1988). Pasca peristiwa Malari, Soeharto secara pribadi mengendalikan badan ini (1974-1978). Tahun 1988, lembaga ini dibubarkan dan diganti dengan Bakorstanas.

Bagaimana dengan Sekretariat Negara? Badan ini merupakan lembaga Pemerintah yang bertugas memberi dukungan staf dan pelayanan administrasi sehari‑hari kepada Presiden dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan negara dan kepada Wakil Presiden. Termasuk pula dalam cakupan itu adalah pengaturan pengamanan dan protocol terhadap isteri atau suami Presiden dan isteri atau suami Wakil Presiden. Sejak Kabinet Kerja III bentukan Presiden Soekarno (6 Maret 1962-13 November 1963), pimpinan lembaga ini diberi titel Menteri, sehingga sebutannya Menteri/Sekretaris Negara. Tetapi sejak Kabinet Dwikora I (27 Agustus 1964-22 Februari 1966), jabatan itu kembali kepada sebutan Sekretaris Negara. M. Ichsan yang ditunjuk Soekarno sebagai Sekretaris Negara terus bekerja hingga digantikan oleh Alamsyah Ratu Prawiranegara (1968-1972). Namun usai penugasan sebagai duta besar, posisi Alamsyah tidak digantikan dan nampaknya jabatan Sekretaris Negara tidak disebut secara resmi. Peran penting dukungan dan layanan kepresidenan dilakukan oleh Sekretaris Kabinet Soedharmono.

Saat membetuk Kabinet Pembangunan II (28 Maret 1973-29 Maret 1978), jabatan Sekretaris Negara dihidupkan kembali dan Soedharmono ditunjuk memimpinnya dengan sebutan resmi Menteri Negara/Sekretaris Negara sejak 1973 hingga 1988, saat dirinya menjadi Wakil Presiden. Di era Soedharmono ini, ditopang oleh posisi sebagai perwira militer yang loyal dan cakap menjalankan birokrasi, posisi Sekretariat Negara kemudian dikembangkan tak hanya memberikan layanan dan dukungan kepresidenan tapi juga fungsi-fungsi lain seiring dengan timbulnya gesekan kebijakan diantara personalia kabinet Soeharto. Misalnya, Soedharmono memimpin Tim Keppres yang bertugas menentukan pelaku usaha nasional yang melaksanakan proyek-proyek pemerintah dan menentukan belanja anggaran-anggaran penting lainnya. Di samping pusat penggodokan rancangan perundang-undangan hingga pengundangan Undang-Undang, Sekretariat Negara benar-benar menjadi pintu terdepan dalam administrasi birokrasi dan salah satu symbol kekuasaan Soeharto yang cukup penting. Posisi ini terus berlanjut hingga Soedharmono digantikan oleh Moerdiono (1988-1998). Ke manapun Soeharto melangkah, Menteri Negara Sekretaris Negara ini selalu mendampingi dan acapkali menjadi Juru Bicara Presiden, yang terkenal dengan logatnya yang khas itu.

Organisasi Sekretariat Negara mengendalikan organisasi lain yang penting di sekitar Presiden, yaitu (i) Sekretaris Kabinet; (ii) Sekretaris Militer; (iii) Sekretariat Pengendalian Operasional Pembangunan; (iv) Kepala Rumah Tangga Kepresidenan; dan (v) Sekretaris Wakil Presiden.

Sekretaris Kabinet melaksanakan sebagian tugas dan fungsi Sekretariat Negara dalam memberikan dukungan staf dan administrasi sehari‑hari kepada Presiden dalam menyelenggarakan kekuasaan Pemerintahan Negara, terutama di bidang peraturan perundang‑undangan. Karena jabatannya, maka Sekretaris Negara juga menjadi Sekretaris Kabinet dan untuk itu dibentuk Wakil Sekretaris Kabinet. Diantara birokrat yang pernah menduduki jabatan ini adalah A. Hamid S. Attamimi (1983-1993), Bambang Kesowo (1993-1998, lalu menjadi Sekretaris Wakil Presiden 2000-2001 dan Sekretaris Negara/Sekretaris Kabinet 2001-2004), dan Erman Radjagukguk (1998-2005)

Sejak Kabinet Indonesia Bersatu I (2004-2009), posisi Sekretaris Negara dan Sekretaris Kabinet dipisah dan keduanya sama-sama berkedudukan setingkat menteri. Bahkan, Sekretaris Negara dilekati dengan sebutan Menteri Sekretaris Negara, dan ini berlaku hingga sekarang.

Sekretaris Militer berfungsi untuk membantu Sekretaris Negara dalam memberikan layanan dan dukungan kepada Presiden selaku Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata. Sementara itu, Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan (Sesdalopbang), merupakan wujud baru dari Inspektorat Jenderal Pembangunan, unit pengawasan proyek-proyek bantuan Presiden yang memiliki akses langsung kepada Soeharto. Hendropriyono dan Sintong Panjaitan pernah menduduki Sesdalopbang ini.

Kepala Rumah Tangga Kepresidenan bertugas membantu Sekretaris Negara dalam melaksanakan sebagian tugas dan fungsi Sekretariat Negara dalam memberikan pelayanan kerumahtanggaan dan keprotokolan kepada Presiden dan Wakil Presiden. Termasuk dalam tugas ini adalah fasilitas fisik dan pemeliharaan istana-istana kepresidenan lain seperti Bogor, Bali, Yogyakarta, dan Cipanas. Mahftuh Basyuni (Sekretaris Negara 2001, Duta Besar untuk Qatar 2001-2004, Menteri Agama 2004-2009) pernah menjadi Kepala Rumah Tangga Kepresidenan, yang populer disebut ”Karungga.”

Saat Presiden Abdurrahman Wahid mulai berkuasa (1999-2001), Sekretariat Negara menjadi sasaran pembaruannya. Presiden Wahid menolak kedudukan Sekretariat Negara yang begitu dominan, menjadi ”negara dalam negara.”Sekalipun saat pengumuman Kabinet Persatuan Nasional I (26 Oktober 1999-9 Agustus 2001), Sekretaris Negara memperoleh kedudukan setingkat menteri, namun dalam perombakan tahun 2000, posisi Sekretaris Negara dianggap bukan bagian dari struktur kabinet. Presiden Wahid juga merevitalisasi dan membentuk unit-unit kerja yang membantunya sehari-hari, mencakup Sekretaris Kabinet, Sekretaris Pengendalian Pemerintahan, dan Sekretaris Presiden. Namun, Presiden Wahid menyerahkan sepenuhnya pengelolaan administrasi Istana Wakil Presiden kepada Wakil Presiden (saat itu) Megawati Soekarnoputri yang kemudian menunjuk Bambang Kesowo sebagai Sekretaris Wakil Presiden yang menyebabkan badan ini menjadi independen sebelum disatukan kembali sejak Megawati menjadi Presiden (23 Juli 2001-20 Oktober 2004). Di awal jabatan, Presiden Yudhoyono mempertahankan posisi Sekretaris Presiden namun kemudian menghapuskannya.

Di sisi lain, Presiden Yudhoyono membengkakkan birokrasi kepresidenan dengan di samping mempertahankan Sekretaris Negara dan Sekretaris Kabinet sebagai unit yang terpisah (berikut organisasi di bawahnya) juga memperkenalkan jabatan Staf Khusus. Jabatan ini disetarakan dengan Eselon IA dan merupakan jabatan politik. Presiden berhak mengangkat 9 staf khusus, Wakil Presiden 7 staf khusus, dan setiap menteri 3 staf khusus. Diantara staf khusus yang menjadi wewenang Presiden, 1 menjadi Sekretaris pribadi dan 1 lagi diperbantukan bagi ibu negara. Presiden Yudhoyono juga merintis pembentukan Juru Bicara Presiden, jabatan yang menguraikan perilaku Presiden sehari-hari, yang terbagi ke dalam Juru Bicara Bidang Dalam Negeri dan Juru Bicara Bidang Luar Negeri. Jabatan ini bukan hal baru karena sesungguhnya Presiden Wahid telah memulai dan pernah mengangkat 6 juru bicara kepresidenan, antara lain Wimar Witoelar.

Presiden Joko Widodo seingat saya tidak pernah berbicara langsung soal birokrasi kepresidenan ini. Wakil Menteri pernah diusulkannya dihapus, namun tidak jelas bagaimana kelanjutan posisi Staf Khusus.

Saya menganggap birokrasi di Sekretariat Negara, Sekretariat Kabinet (dan lingkungan jabatan di bawahnya) beserta staf khusus merupakan staf kepresidenan. Mereka menjadi garda depan dalam pelayanan dan dukungan terhadap Presiden.

Di Amerika Serikat (AS), staf kepresidenan dikendalikan oleh Kepala Staf Gedung Putih (Chief Staff of White House) yang berada di luar kabinet tetapi posisi personal dan politiknya sangat penting. Sejak tahun 1979, posisi Kepala Staf ini menjadi penting. Ia menentukan pengawasan birokrasi kepresidenan, menentukan agenda Presiden, dan memutuskan siapa saja yang boleh bertemu Presiden. Ia benar-benar memegang ”kekuasaan di balik tahta” (the power behind the throne). Bahkan, saat Edwin Watson menjadi Sekretaris Pribadi Roosevelt (1933), ia berperan penting dalam rekrutmen kabinet.

Jabatan ini dilembagakan setelah sebelumnya dijalankan oleh Sekretaris Pribadi Presiden yang acapkali berperan penting sebagai penasehat, terutama sejak Theodore Roosevelt, Woodrow Wilson, dan Franklin Roosevelt. Birokrasi kepresidenan modern mulai dirintis oleh Franklin Roosevelt yang berhasil membujuk Kongres untuk menyetujui jabatan-jabatan penting di sekitar Presiden, termasuk jabatan di Gedung Putih. Tahun 1946, Asisten Presiden dibentuk. Di bawah Presiden Eisenhower (1953-1961), untuk pertama Kepala Staf Gedung Putih dilembagakan. Ia memili wakil dan para deputi urusan-urusan tertentu, termasuk Sekretaris Pers, dan sebagainya. Kekuasaan Kepala Staf, termasuk melayani kepentingan pribadi Presiden, mencapai puncak di masa kepresidenan Nixon (1969-1974) dan seiring skandal Watergate, posisi ini memperoleh sorotan tajam masyarakat. Presiden Jimmy Carter merespon kritik itu dan hampir sepanjang 2,5 tahun awal pemerintahannya, jabatan Kepala Staf ditiadakan.

Jabatan Kepala Staf rata-rata 2,5 tahun. Masa bakti terlama dipegang oleh John R. Steelman (masa Presiden Trumann, 6 tahun). Lalu oleh Andrew Card (5 tahun, bekas Menteri Perhubungan masa Presiden Bush senior dan kemudian menjadi Kepala Staf masa Presiden Bush yunior) serta Sherman Adams (5 tahun, Kepala Staf masa Presiden Eisenhower).

Umumnya para kepala staf ini adalah politisi dan kemudian dapat dipindahtugaskan menjadi jabatan eksekutif puncak lain. Marvin Watson (kepala staf Presiden Johnson, 1963-1968) kemudian diangkat sebagai Kepala Kantor Urusan Pos. Alexander Haig, kepala staf Presiden Nixon (1973-1974) lalu menjadi Menteri Luar Negeri Presiden Reagen (1981-1982). James Backer, menjadi kepala staf Presiden Reagen (1981-1985), lalu menjadi Menteri Keuangan di masa kepresidenan Reagen yang kedua dan menjadi Menteri Luar Negeri masa Presiden Bush Senior (1988-1992). Dick Chiney, menjadi Kepala Staf Presiden Ford (1975-1977) dan kemudian menjadi Menteri Pertahanan masa Presiden Bush Senior (1988-1992) dan menjadi Wakil Presiden (2001-2009). Donald Rhumseld, yang pernah pula menjadi Kepala Staf Presiden Ford (1974-1975), lalu menjadi Menteri Pertahanan (1975-1977) dan kemudian kembali menjadi Menteri Pertahanan era Presiden Bush yunior (2001-2006). Rahm Emmanuel mengundurkan diri sebagai anggota DPR untuk menjadi Kepala Staf Presiden Obama (2008-2011) dan kemudian menjadiWalikota Chicago (2011-sekarang).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline