Indonesia merupakan salah satu dari banyak negara, yang termasuk ke dalam kategori negara pendapatan kelas menengah atau middle income. Menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Bapak Suharso Mohoarfa, Indonesia telah berada dalam kategori middle income selama 29 tahun (1993-2021) dan ini telah menjadi sebuah jebakan atau trap bagi Indonesia. menurutnya, dibutuhkannya pertumbuhan ekonomi setidaknya 6% pertahun untuk bisa keluar dari middle income trap dan hanya tersisa 23 tahun lagi untuk mencapai hal tersebut di tahun 2045.
Jika dibandingkan dengan negara lain, fase middle income trap di Indonesia termasuk cukup lama, misalnya saja Singapura yang membutuhkan 20 tahun (1971-1991) untuk keluar dari fase middle income trap menuju fase high income. Begitu pula dengan Hongkong (1971-1990) dan Jepang (1967-1986) yang membutuhkan waktu 19 tahun serta Korea Selatan yang membutuhkan waktu sekitar 18 tahun (1978-1996) untuk bisa keluar menuju fase high income.
Hal ini disampaikan pada pelaksanaan Acara Puncak Indonesia Development Forum 2022 yang diselenggarakan oleh Kementerian PPN/Bappenas pada tanggal 21-22 November 2022 di Bali, dengan mengangkat tema "The 2045 Agenda: New Industrialization Paradigm for Indonesia's Economic Transformation".
Beliau menambahkan bahwa, Indonesia perlu sesegera mungkin untuk melakukan reindustrialisasi yang mengikuti tren perubahan kedepannya, yaitu new lifestyle, smart, and functional. Namun ini tentunya hal tersebut bukan suatu hal yang mudah seperti membalikkan telapak tangan.
Perkembangan industri yang begitu cepat tentunya dapat menjadi sebuah tantangan, misalnya saja saat ini, dimana perkembangan industri mulai memasuki era Industri 6.0 yang memfokuskan pada perluasan integerasi co-bot dan manusia di seluruh aspek kehidupan dengan menerapkan prinsip keberlanjutan. Hal inilah yang membuat Indonesia harus bisa beradaptasi dengan cepat dan tepat, dimana transisi yang dilakukan dapat mengadopsi kedua hal, yakni transisi digital serta transisi yang berkelanjutan.
Menurut Profesor Bambang Brodjonegoro, selaku Menteri Riset dan Teknologi pada periode 2019-2021, terdapat empat sumber pertumbuhan ekonomi bagi Indonesia di masa depan, yaitu sektor manufaktur, jasa, ekonomi digital dan green economy atau ekonomi hijau. Menurutnya, dibutuhkan peningkatan kualitas produk melalui kompleksitas proses yang dilakukan sehingga daya jualnya juga meningkat. Selain itu, beliau juga menambahkan bahwa dalam peningkatan ekonomi, tidak hanya pemerintah saja yang memegang tanggung jawab tersebut, tetapi sangat dibutuhkannya juga kontribusi dan peran aktif sektor swasta di dalamnya.
"kita butuh transformasi ekonomi supaya kita bisa naik kelas", ucap Professor Bambang Brodjonegoro yang juga pernah menjabat sebagai Menteri PPN/Kepala Bappenas periode 2016-2019
Hal yang sama juga dipaparkan oleh Profesor Ricardo Hausmann, bahwa di era saat ini, kolaborasi dan sinergitas dari berbagai pihak dengan latar belakang kemampuan yang berbeda-beda sangatlah penting, karena dapat memperbesar kapasitas atau kemampuan diversifikasi serta kompleksitas sebuah produk dalam sebuah negara.
Beliau yang juga merupakan Director of Harvard's Growth Lab and the Rafik Hariri Professor of the Practice of International Political Economy at Harvard Kennedy School, menyatakan bahwa menjadi sebuah hal yang esensial bagi suatu negara untuk melakukan pemetaan secara rinci dan terintegrasi untuk melihat hubungan antar setiap potensi sumber daya dan kemampuan yang ada dalam menciptakan sebuah inovasi yang dapat dibentuk dari hubungan tersebut.
Berbicara tentang ekonomi hijau yang disampaikan oleh Profesor Bambang Brodjonegoro sebagai salah satu potensi peningkatan pertumbuhan ekonomi melalui sektor ekonomi hijau, Profesor Richardo Hausmann juga mengatakan bahwa Indonesia memiliki potensi yang besar untuk menerapkannya.
Perlu diketahui, sekitar 31% emisi karbon berasal dari sektor manufaktur, kemudian dilanjutkan dengan listrik sebesar 27% serta sektor agrikultur (19%), transportasi (16%), dan bangunan (7%). Sebagai salah satu negara yang menyepakati Paris Agreement di pada tahun 2016, Indonesia bersama dengan negara-negara lain turut serta dalam aksi penurunan emisi karbon sebagai bentuk tindakan preventif terhadap perubahan iklim. Beliau juga menambahkan bahwa saat ini, potensi energi terbarukan yang digunakan hanya sekitar 2% saja, sehingga ini hal ini dapat lebih dimaksimalkan oleh Indonesia di masa depan.