Lihat ke Halaman Asli

Suatu Malam di Oude Molstraat

Diperbarui: 8 September 2016   07:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam merayap perlahan. Pukul 11.45 pm di Kota Den Haag. Angin menepuk-nepuk wajahku serupa tepukan persahabatan di pundak kiriku.

Beberapa orang berambut jagung berpostur tinggi masih melintas dengan sepeda atau berjalan kaki. Ini daerah Centrum. Sebuah pusat perbelanjaan yang setiap harinya ramai dengan pengunjung dari seantero bangsa. Pada waktu-waktu tertentu ada saja sekumpulan kaum leisure time dari Indonesia entah dari kota mana. Aku tak begitu peduli seperti segelintir kawan lain yang rela membuntuti mereka dan mencatat merk belanjaan dari kantung-kantung plastik di kedua lengan mereka. Sasaran empuk biasanya kalau mereka itu dari kaum politisi yang baru beranjak kaya. Dengan kekayaan yang mereka peroleh dari korupsi uang rakyat.

Tadi sore, saat memutuskan mengantar Nadia pulang ke student housingnya aku memilih berjalan kaki. Dia pun memilih menuntun sepedanya. Kami menyusuri jalan Noor deinde lalu berbelok menuju jalan Oude Molstraat di mana ia tinggal bersama mahasiswa ISS yang lain. Bukan pekerjaan sulit menuntun sepeda di negeri kincir angin ini. Cuacanya teduh dan berjalan kaki tentu jauh lebih nikmat di antara pejalan yang juga berseliweran. Lagi pula jarak kampus kami ke asramanya tak begitu jauh. Hanya sekira lima ratus meter.

Kini aku dalam perjalanan kembali ke kamarku. Sendiri menyusuri jalanan paving block yang tertata kokoh dan rapih. Hawa malam dengan dingin menusuk tulang semakin terasa. Aku mengetatkan ikatan scarf winter yang melingkar di leherku. Jemariku terbungkus kaus tangan sulaman. Cukup nyaman dan serasa hangat. Aku membelinya di sebuah second hand shop seharga 2,5 Euro. Harga yang murah dengan kualitas barang yang baik. Jalan Bazaarlan di mana aku tinggal hanya sekian langkah lagi. Aku sudah menyeberangi jembatan dari sebuah kanal dan belok kiri ke jalan Kortenaerkade. Kampusku, yang kata banyak orang kampus Marxist berdiri megah dan sunyi. Hanya beberapa sepeda yang terparkir. Beberapa bahkan sudah sekian minggu tak tersentuh. Sepertinya ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya atau kehilangan kunci. Jika waktunya tiba, polisi setempat akan memotong rantainya dan mengangkut sepedanya.

Begitu berbelok ke kanan, aku memandang ke sisi kiriku di mana asrama mahasiswa Dorus tampak kamar-kamarnya masih menyala terang. Aku yakin para mahasiswa itu masih terjaga dengan setumpuk artikel kaum kiri yang dicetak sore tadi di kampus. Aku sudah tiba di housing-ku dan membuka satu persatu pintu dari tiga pintu penghubung.  Begitu tiba, aku segera memasukkan anak kunci berwarna perak. Memutarnya dan mendengar dua detak keras. Kuputar daun pintu. Begitu pintu terbuka, hangat dari besi-besi pemanas menyambutku.

Tanpa melepas sepatu aku menghempaskan tubuhku di kasur berseprai putih. Kepalaku manja beralaskan bantal yang juga bersarung putih. Aku membayangkan Nadia dengan baju tidurnya yang bermotif bunga tulip beragam warna beberapa menit yang lalu saat di kamarnya. Rambutnya yang sebahu harum memancarkan wangi tepat di hidungku. Aromanya seolah wewangian tulip yang mekar dari bajunya. Ia memelukku erat sekali. Seperti tak hendak ia lepaskan. Tubuh bagian depanku merasakan hangat dari kelembutan badannya. Kedua lenganku bergerak menyapu seluruh bidang punggungnya. Pelukannya erat dan semakin erat.

Sejenak ia merenggangkan lingkar lengannya. Ia menatapku. “Tidurlah malam ini di kamarku. Aku takut.” Pintanya penuh harap.

Ini pengalaman pertamanya tinggal jauh dari rumahnya di Bandung. Aku tak menjawabnya. Aku memilih memeluknya lagi dan dia pun semakin menguatkan pelukannya. Aroma itu menyeruak lagi tepat di kedua lubang hidungku. Dan seluruh tubuhnya semakin hangat. Aku tetap tak menjawab permintaannya. Malam semakin larut. Sudah pukul 11 malam.

Aku duduk di atas meja belajarnya yang lapang. Beberapa buku yang baru dibelinya di awal kuliah minggu lalu teronggok di sana. Aku meraih salah satu dari buku-buku itu dan membukanya. Beberapa halaman sudah diberi tanda dengan tarikan garis abu-abu sebuah pensil yang ujungnya tajam. Aku membacanya sekilas, tertera judul the history of capitalism.

Aku lalu mencuri pandang wajah Nadia yang tertunduk membaca artikel berhalaman belasan. Helai rambutnya jatuh searah pandangannya ke huruf-huruf yang berbaris rapi. Sebagian helai rambutnya tertahan bando berwarna biru laut Utara yang pernah kupandangi dari pantai Scheveningen. Di jemari kanannya yang lentik dengan bulu-bulu halus, terselip pensil berwarna merah bermotif garis-garis hitam. Ujung atasnya baru saja terselip di antara kedua baris rapih geligi putihnya. Aku seperti mengharapkan keharuman yang lain dari celah sempit di antara bibirnya yang sedikit mengering oleh suhu yang rendah. Nadia tak menyadari hasil curianku dan tak tahu hasratku sekian detik lalu. Ia asyik membaca di atas tempat tidurnya yang empuk dan sesekali menarik garis di bawah kalimat-kalimat penting si penulis.

Pukul 11.30  malam waktu Belanda. Instrument saxophone milik Kenny G membuaiku. Tinggallah semalam saja katanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline