Lihat ke Halaman Asli

Sepasang Pencinta Kretek di Negeri Kincir Angin

Diperbarui: 2 September 2016   19:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Daun-daun maple beterbangan. Warnanya merah keemasan. Semuanya tampak jelas dari balik jendela perpustakaan Koninklijke Bibliotheek. Aku baru saja meraih sebuah DVD. Judulnya, ‘the girl in a café’. Aku tertarik dengan judulnya. Kata café dalam judul itu mengingatkanku pada sebuah kampung.

Kampungku jauh di pedalaman Pulau Sulawesi. Aku ingat, kau menyebut pulauku “a funny island.” Hari itu, saat pertama kali kita berkenalan di perpustakaan kampus. Mungkin karena asing dengan kata Sulawesi lantas kau memintaku membuka google earth. Kamu hanya tahu kalau Indonesia itu hanya Bali, dan seolah-olah Indonesia hanya memiliki satu pulau, pulau Bali.

Aku meraih tikus nirkabel ku dan membawa kursor ke desktop, mengklik ikon shortcut google earth dan memutar bola dunia ke kepulauan Indonesia. Aku melihatmu sekilas dan pandangannmu tertuju ke kepulauan nusantara yang membesar dengan kecepatan nyaris secepat se-klik-an jari telunjuk kananku menekan tuts bagian kiri. aku menunjuk pulau Sulawesi yang serupa huruf K dan kau mulai tertawa, dan bilang kalau pulauku bentuknya lucu.

“Kampungku ada di tengah pulau ini.” Aku memandangmu dan kau hanya mengangguk.

“This is the mountain of Latimojong and I am living here.” Kamu Cuma bilang, nice dan masih mengangguk-angguk lucu. Rambut pirangmu yang bergelombang dan kulit pipimu yang putih bersih degan rona merah jambu membuatku bergumam dalam hati. “hm, aku benar-benar bersama cewek bule sekarang.”

“Pengetahuanmu tentang geografi negeriku memang payah.” Kataku padamu. “let I tell you about other islands.” Dan kau mengangguk dan bilang, “sure.”

Kejadian itu sudah setahun yang lalu. Sejak perbincangan itu, kami kerap ke café. Ya, kami sama-sama penikmat kopi dan kota Den Haag penuh dengan kedai kopi di pinggir jalan atau yang trotoarnya di penuhi sepasang meja dan kursi. Kami selalu memilih sebuah meja yang hanya diapit dua kursi yang saling berhadapan.

“Jadi ini kopi Toraja?” Katamu saat pertama kali kita pergi ke café dan memesan kopi Toraja. “this is a very Strong coffee.” Katamu usai menghirupnya sambil menatapku dengan sepasang mata jenakamu. Aku mencoba meresapi rasanya setelah seruputan pertama. Aku tak begitu yakin dengan kopi ini. Kopi ini bukan sekedar kental. Ia juga berserat dengan aroma rempah yang khas negeri tropis.

“Aku tahu aroma kopi Toraja, dan aku begitu yakin ini bukan kopi Toraja. Mungkin salah satu bagian di jazirah tengah pulau Sulawesi, tapi bukan Toraja. Penamaannya sebagai Toraja pastilah sekedar pertimbangan nama itu lebih marketable ketimbang lainnya.

Aku hidup sepanjang masa kecil dan remajaku di kampung. Jemariku amat terbiasa dengan butiran kopi. Mulai dari menanam, memetik, mengupas, menjemur, menyangrai, menumbuk hingga meracik dan memasaknya. Hidungku serupa jemariku, lidahku dan rangsangan di otakku dan detak jantungku sekaitan dengan bijih kopi. Aku adalah anak petani kopi yang lahir dari masyarakat berbudaya kopi.

Tapi perbincangan itu serupa asap dari kretekku. Melesap tak lama setelah diembuskan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline