Pagi-pagi buta dirinya terbangun dari tidur lelapnya. Dari gelap gulita cahaya matahari mulai merekah di langit Bandung. Layaknya rutinitas, dirinya bergegas menuju keran air dan mulai membasuh muka. "Bersih sudah", katanya. Dengan kaki terasa berat dirinya berjalan mendekati sebuah lemari. Mengambil sebutir telur dan mulai merebusnya. Meskipun sangat sederhana namun sarapan adalah hal penting baginya, walaupun terkadang hanya berbentuk segumpal nasi dan garam.
Saat yang lain masih tertidur, ia sudah mulai bekerja. Walaupun hanya serabutan namun cukup untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Kerjaan nya beragam mulai dari mencuci pakaian hingga tenaga kerja disebuah gudang. Semuanya ia lakukan dibawah kuasa kompenie, si orang Belanda Bajingan. Baginya mereka merupakan jelmaan setan di dunia, seseorang yang tak lain hanya membawa penderitaan bagi masyarakat. Sungguh tak ingin dirinya hidup lebih lama lagi jika harus berada didekat mereka.
Dua tahun. Akhirnya dua tahun perencanaan yang telah lama dibuat bisa terlaksana. Dia hampir berpikir bahwa hari tersebut tidak akan pernah tiba. Namun inilah dia, sebuah rencana yang entah busuk atau mulia untuk dilakukan. Sebuah rencana yang dapat mengubah kondisi lingkungan yang penuh hina dan penderitaan ini. Sebuah rencana untuk mengakhiri hidup kompenie.Tak hanya satu namun semuanya.
Dimulailah siang yang terik itu dengan mempersiapkan berbagai peralatannya. Pisau kecil, racun hama, jarum, minyak tanah, dan sebagainya. Sungguh entah apa yang ada di pikirannya tak lain hanya benak-benak penuh dosa. Dengan memberanikan diri ia berjalan menuju rumah pertama, seorang kompenie penguasa kebun teh. Diam-diam ia masuk melewati pintu belakang. Disanalah dilihatnya, seorang kulit putih sedang duduk diam membelakanginya, menikmati teh hasil rampasan milik rakyat. Tak ada suara tak ada kegaduhan, kompenie jatuh bersimbah darah. Pekerjaan ini terasa mudah.
Keluarlah dirinya pergi membasuh tangan. Menghindari rasa curiga dari orang lain ia berusaha tidak melakukan tatapan mata dengan siapapun. "Masih tersisa dua bajingan lagi', katanya. Namun tiba-tiba perasaan aneh ini muncul dari dalam dirinya. Apa yang telah diperbuatnya? Akankah ia tertangkap basah berusaha melakukan pembunuhan berencana? "Tidak, tidak mungkin", katanya dengan tenang. Ia berusaha untuk tetap terlekat pada rencana awalnya. Namun langkahnya serasa lebih berat dari sebelumnya. Hingga akhirnya tibalah ia di depan gerbang rumah kedua. Perasaannya lebih berat dari sebelumnya. Ia tidak bisa tenang dan berpikir jernih. Mulailah perasaan takut menyelimutinya, sebuah akibat dari hati nurani yang bekerja. Namun apakah itu hari nurani bila kompenie saja tidak memilikinya. Maka ia mulai mencari pintu masuk. Sepertinya mencari celah di rumah ini lebih susah dari sebelumnya. Sepuluh menit berlalu. Sebuah jendela terbuka.
Kesempatan itu tidak ia buang sia-sia, dengan segera ia langsung mencari jalan menuju jendela tersebut. Betapa beruntungnya ia ketika didapatinya ruangan jendela tersebut tidak berpenghuni. Pelan-pelan ia mulai berjalan menuruni tangga. Tepat saat berada di anak tangga terakhir dilihatnyalah dia si bajingan belanda itu.
Tanpa basa-basi ia langsung menghunuskan pisau berlumur racun hama kepadanya. Namun tak disangka bahwa ia masih bisa berteriak. Maka dipukulnyalah kepalanya dengan sebuah tongkat, dan tergeletaklah ia tanpa bergerak sedikit pun. Perasaan cemas luar biasa muncul dari dalam dirinya. Ia mulai bertingkah panik seakan dunia sedang berputar-putar. Tekanan semacam ini semakin memburuk ketika ia mendengar omongan orang Belanda dari luar. Pembicaraan mereka semakin jelas dan semakin jelas bahwa mereka mendekat dan berusaha untuk masuk. Maka dengan seribu langkah ia keluar dari pintu belakang.
Tak pernah sebelumnya perasaan ini muncul dan dengan luar biasanya perasaan tegang meliputinya. Tekanan semacam ini tak lain akibat dari tekanan batin dan rasa takut dari amukan massa orang Belanda. Ia berlari terus menjauhi kepadatan penduduk. Tak bisa berhenti walau hanya untuk sejenak, ia tetap berlari meski kaki terasa sakit. Hingga akhirnya ia tiba di perbatasan kabupaten. Perbatasan tersebut di hubungkan dengan sebuah jembatan. Dari sini sebuah pilihan luar biasa gila muncul. "Haruskah ku mati atau hidup dalam pelarian".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H