Akhirnya, Merapi melontarkan materi vulkaniknya keluar (26/10). Dalam peristiwa ini puluhan orang tewas, termasuk para relawan, puluhan lainnya mengalami luka bakar yang serius. Duka menyelimuti wajah penduduk yang mengungsi akibat tragedi tersebut. Banyaknya korban yang jatuh (31 orang sampai hari Jum'at, 29/10), menjadikan kita bertanya-tanya.
Peristiwa ini terulang kembali pada hari Sabtu pukul 00.40, tetapi tidak mengakibatkan korban jiwa. Hanya saja, langit kota Jogja memutih pada pagi harinya hingga sekitar pukul 10.00. Pengungsi pun turun meninggalkan kamp pengungsian lama ke arah yang lebih jauh jarak jangkauannya dari pusat gunung Merapi.
Hikmah yang dapat kita ambil dari peristiwa ini adalah fakta bahwa bencana alam itu tidak bisa dicegah. Manusia hanya bisa berusaha untuk mencegah melalui tanda-tanda, sedangkan yang menentukan akhirnya adalah Tuhan Yang Maha Esa.
Nama yang menjadi perbincangan hangat setelah peristiwa ini adalah Mbah Maridjan. Mas Panewu Suraksohargo (83), atau lebih akrab kita kenal sosoknya sebagai Mbah Maridjan. Selama ini, beliau selalu teguh pada pendiriannya untuktetap tinggal dan memberikan perasaan aman bagi warga di sekitar tempat tinggalnya. Meskipun badan meteorologi dan geofisika (BMKG) telah meningkatkan status Merapi menjadi awas pada Senin sore (25/10), beranjak satu inchi dari rumahnya pun tidak.
Kalau dipikir secara ilmiah, atau secara orang awam, keteguhan pendiriannya ini merupakan sikap yang konyol. Menolak kenyataan bahwa tanda-tanda dari alat pendeteksi letusan Merapi bukanlah sikap yang bijak. Apalagi, orang-orang di sekitarnya segan dengan kata-kata dan "laku" yang dijalaninya.
Tampaknya, peristiwa tahun 2006 ketika Merapi tidak jadi meletus menjadikan orang-orang di sekitarnya lebih percaya pada keputusan Mbah Maridjan. Bahkan, para pendaki pun selalu "sowan" dulu kepada beliau sebelum meneruskan langkahnya untuk menaklukkan lereng Merapi.
Dalam mitos masyarakat Jawa yang berkembang, posisi Mbah Maridjan sebagai juru kunci memiliki kekuatan supranatural. Keamanan yang selama ini dirasakan oleh warga sekitar menegaskan bahwa ada keistimewaan dari beliau. Sehingga, tidak heran kalau masyarakat kebanyakan percaya pada kebijakan yang diambilnya.
Kalau kita turut sesuai dengan sejarah, fakta ini tidak terlepaskan dari kepercayaan yang dianut oleh masyarakat pada masa kerajaan Mataram. Hal ini terkait dengan penghormatan masyarakat pada orang yang dituakan.
Dalam Babad Tanah Jawa, posisi kerajaan Ngayojokarto Hadiningrat diapit oleh dua kerajaan besar di sebelah utara dan di sebelah selatan. Jadi, posisi kerajaan yang kasat mata ini terletak di antara dua kerajaan besar Merapi dan Pantai Selatan. Fakta ini dapat kita lihat dari posisi Gunung Merapi-Keraton Ngayojokarto Hadiningrat-Parangtritis yang terletak pada satu garis lurus.
Posisi strategis ini memantapkan pembicaraan orang-orang tua tentang makna sebuah hal. Baik itu perkataan, peristiwa, perkataan atau perbuatan seseorang yang dianggap tua. Dalam sistem yang berlaku pada etika masyarakat Jawa, omongan orang yang dianggap "tua" memiliki nilai kesakralan yang tinggi.
Membantah atau sekedar mengkritisi pendapatnya diyakini akan mengalami celaka. Setiap kata, perbuatan, hingga tanda-tanda yang kecil harus diperhatikan untuk menentukan tindakan yang harus dilakukan kemudian.