Lihat ke Halaman Asli

Ischo Frendino

Untuk sesuatu yang tak terkatakan, kita mesti katakan.

Hipotesa Hati

Diperbarui: 26 Januari 2020   23:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                        Hipotesa Hati.

Bagiku mencintaimu adalah tengelam dalam lautan ketakberdayaan melepaskan dirimu, di setiap detik yang hijrah, akupun mengajakmu pergi melewati hari-hari, berjalan dalam ingatan agar kamu dapat mengukur jauhnya jarak yang ditempuh hatimu, dan seberapa dekat matamu memandang
Di suatu hari, di taman hatimu dan hatiku, kita bercerita tentang kenangan yang tersimpan di otak kananmu. Awalnya kita menertawakan setetes embun yang jatuh tak berteman dari atap kota malam itu. Semunya berubah seketika datang seorang ibu penjual kenikmatan. Kau memesan segelas rindu dan aku kehangatan. Dan kita pun beradu pandang sambil sesekali menikmati kesukaan kita yang tertumpuk di bibir cangkir.

Di antara selah candaan itu jemarimu dan jemariku dihujani kepingan-kepingan luka, yang tenggelam dalam rintikan-rintikan dari pipimu. Berkali-kali aku melebur dalam sungai di matamu, merasakan detak demi detakkan nadimu dan menemukan setumpuk kejujuran bahwa bukan kebahagiaan tapi kesenangan yang merengut dirimu kala itu.

Aku mengajakmu menatap langit dan menyuruhmu menghitung semua bintang yang ada agar kamu tahu bahwa cintaku seperti semesta langit, keluasan hati, bahwa kamu pada akhirnya tak mampu menghitung semua bintang yang ada. Dan cintaku kekal.

Aku bukan Nostradamus, Sang Pelintas Waktu, yang harus menerawang jauh berapa jarak kita di panggung semesta, bukan pula Stephan Hawking, Fisikawan Kuantum, yang harus berteori tentang umur bumi, sedang kita dapat berjalan di bumi sejuta kembang ini. Aku hanya aku yang hanya tau mencintai dengan hati yang tak tertuang dalam anatomi tubuhmu.

Terpampang rekayasa kebencian di saat ketulusan dirampas oleh geramnya nafsu, di saat kita tenggelam dalam kemelaratan hati, saat ego terkadang tak mampu terbendung dan rima kita sering terdengar kontradiksi. Untuk itu kah kita harus menyandang predikat perpisahan? Begitu murahnya cinta di pasaran kebencian.

Bahwa ada saat ketika membenci bukanlah benci, marah bukanlah emosi, tak suka bukanlah tidak menyukai, tetapi itu mungkin adalah cara menyembunyikan cinta yang kita tutupi.

Dan aku adalah aku yang mencintaimu dengan sabar hari ini dan esok.

Ischo Frendino. Jakarta, 09/01/2020.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline