Lihat ke Halaman Asli

Harmoni dalam Tradisi, Praja Sasak di Masyarakat Lombok

Diperbarui: 29 Oktober 2024   13:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Instagram @sasakpedia

Masyarakat di Pulau Lombok, khususnya suku Sasak, masih memegang erat kebudayaannya yang kaya dan penuh makna. Cara berpikir, bersikap, dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari mereka sangat dipengaruhi oleh warisan budaya Sasak yang telah turun-temurun. 

Salah satu tradisi yang masih dijaga dan dirawat dengan baik hingga hari ini adalah tradisi praja, sebuah ritual unik yang identik dengan upacara khitanan atau nyunatang bagi anak laki-laki. 

Tradisi ini kerap dilaksanakan setelah perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kewajiban syariat Islam yang telah dipenuhi.

Dalam upacara nyunatang ini, disiapkan berbagai sajian makanan khas berupa dulang nasi, dulang jaje, dan dulang penamat yang dipersembahkan untuk memuliakan acara tersebut.

 Sebelum nyunatang dilaksanakan, terlebih dahulu dilakukan tradisi praja yang bertujuan tidak hanya untuk memeriahkan suasana, tetapi juga mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal yang dipercaya sebagai keharusan bagi kelangsungan keselamatan dan kesejahteraan (Mansyur, 2019). 

Masyarakat setempat memiliki keyakinan bahwa meninggalkan tradisi ini dapat mendatangkan ancaman bagi keselamatan, keamanan, dan kesehatan anak yang akan dikhitan. Bahkan, keluarga anak tersebut diyakini dapat terkena bala atau kesialan jika tradisi ini diabaikan, karena dianggap sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur.

Tradisi praja sendiri merupakan rangkaian acara yang dilakukan untuk memeriahkan perayaan hari-hari besar Islam, seperti Maulid Nabi Muhammad SAW, di mana anak-anak yang akan dikhitan dipikul berkeliling kampung.

 Sebelum prosesi dimulai, persiapan yang dilakukan meliputi menyiapkan wadah-wadah besar yang bermotif dan bergambar hewan-hewan seperti harimau, kerbau, kuda, sapi, gajah, dan kijang. Wadah-wadah ini akan menjadi tunggangan bagi anak-anak yang akan dikhitan dan sebelumnya diberkati dengan doa dan mantra oleh tokoh-tokoh adat setempat.

Sebelum tradisi praja berlangsung, masyarakat setempat harus menjalankan serangkaian proses persiapan yang telah diturunkan dari generasi ke generasi.

 Menurut penelitian yang dilakukan oleh Juhara (2021) melalui wawancara dan observasi, terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui, yaitu: 1) menyilaq (mengundang), 2) mayas rurung (menghiasi jalan), 3) apeq dulang roah (mengatur sajian makanan untuk syukuran), dan 4) menghiasi anak yang akan dikhitan. Setiap tahapan ini mengandung nilai simbolis yang mencerminkan penghormatan dan persatuan masyarakat dalam menjalankan tradisi ini.

Tahap pertama adalah proses menyilaq, yaitu tahapan undangan sebagai penanda bahwa tradisi praja akan segera dilaksanakan. 

Pada tahap ini, pemilik acara yang anaknya akan dikhitan akan mengundang kerabat, tokoh adat dan agama, perwakilan kepala lingkungan, serta tokoh-tokoh masyarakat yang ada di kelurahan setempat. Kehadiran mereka bukan hanya sebagai tamu, tetapi juga sebagai simbol ikatan sosial dan dukungan terhadap kelancaran acara.

Tahap berikutnya adalah mayas rurung atau menghiasi jalan, yang biasanya dilaksanakan pada malam sebelum hari utama tradisi praja. Proses ini diawali oleh kepala lingkungan yang kemudian diikuti oleh para pemuda setempat. 

Pada tahap ini, jalan-jalan yang akan dilalui oleh tamu undangan dihiasi dengan daun aren atau kelapa serta kertas berwarna yang dei bentuk sedemikian rupa menjadi hiasan indah. 

Hiasan ini bertujuan untuk memperindah jalan dan memberikan kesan meriah, menyambut kedatangan para tamu dengan suasana yang penuh suka cita. Setelah itu, masyarakat berkumpul pada pagi hari sebelum acara syukuran di masjid untuk melakukan apeq dulang roah, yakni menyiapkan sajian makanan.

 Dalam tahapan ini, berbagai peralatan seperti nare (nampan), piring, tembolaq (tudung saji), nasi, serta lauk-pauk disusun dan diatur dengan cermat. Makanan ini nantinya akan dihidangkan sebagai bentuk syukur kepada Tuhan atas kelancaran acara dan sebagai wujud kebersamaan masyarakat dalam tradisi.

Tahap terakhir dalam persiapan ini adalah menghiasi anak yang akan dikhitan. Pada tahap ini, anak-anak yang akan mengikuti prosesi arak-arakan dipakaikan kain songket oleh orang tua mereka. 

Pemakaian kain songket bertujuan agar anak-anak tersebut tampak seperti anak raja, sebuah simbol penghormatan dan kemuliaan dalam prosesi ini. Setelah semua persiapan selesai, anak-anak yang akan dikhitan dipikul dan diarak oleh para pemuda kampung. 

Mereka diarak berkeliling, diperlihatkan kepada masyarakat luas sambil diiringi musik tradisional khas Sasak seperti kecimol atau gendang belek (Mansyur, 2019). Musik yang mengiringi upacara ini tidak hanya menambah semarak suasana, tetapi juga memiliki makna sebagai penghormatan dan permohonan restu kepada leluhur agar anak yang dikhitan mendapatkan keselamatan dan keberkahan sepanjang hidupnya. 

Tradisi ini menjadi cermin keteguhan masyarakat Sasak dalam menjaga identitas budaya mereka, sekaligus sebagai sarana untuk mempererat hubungan sosial dan spiritual dalam komunitas mereka.

Tradisi praja sasak ini tentunya kaya akan berbagai nilai, terutama nilai-nilai religius yang sangat mendalam. Sebagaimana ajaran Islam, khitan bagi anak laki-laki menjadi bagian dari proses penyucian diri yang memiliki makna spiritual yang besar. Khitan ini dipandang sebagai langkah penting untuk mendekatkan diri kepada kesucian dan keteladanan Rasulullah SAW yang suci dari dosa. 

Selain sebagai perintah agama yang wajib dijalankan, khitan juga dipercaya membawa berkah bagi keturunan laki-laki, menjadikannya pribadi yang lebih baik dan suci. Dalam prosesi khitan ini, terdapat unsur hablumminallah, yakni hubungan vertikal dengan Allah SWT, yang dihadirkan melalui pembacaan doa-doa khusus. 

Doa tersebut dipanjatkan sebagai permohonan perlindungan dan keselamatan bagi anak yang akan dikhitan, dengan harapan ia senantiasa dilimpahi keberkahan serta keselamatan dalam kehidupannya. Tradisi ini tidak hanya berfungsi sebagai ritual fisik, tetapi juga memperkuat keimanan dan mempererat hubungan manusia dengan Sang Pencipta.

 

REFERENSI:

Juhara, G. 2021. Makna dan Nilai dalam Tradisi Praja Sasak. Studi Kasus di Kelurahan Dasan Agung, Kota Mataram. Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan: Universitas Mataram.

Mansyur, Z. 2019. Penerapan Ajaran Islam Wetu Telu di Tengah Ajaran Islam Waktu Lima (Upaya Melestarikan Kearifan Lokal Muslim Sasak). Jurnal Studi Agama-Agama. 9 (2): 222 – 243.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline