Lihat ke Halaman Asli

Potret Kemiskinan di Tengah Maraknya Villa dan Tempat Wisata

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akusangat berterima kasih kepada grup lari lintas alam Jakarta(Jakarta Hash House Harriettes) yang mana kegiatan olah raga lari ini telah membawa-ku ke daerah pedesaan, kampung dan hutan, baik yang berada di Pulau Jawa ataupun Pulau lainnya di Indonesia, sehingga aku bisa mengenal lebih dekat tentang wajah dan kehidupan penduduk setempat.

Kejenuhan pekerjaan yang rutin dari hari Senin sampai Jumat, mendorong-ku untuk mencari kegiatan olah raga sehabis jam kantor,grup bowling yang kutinggalkan sebelum berkelana ke Inggris, jadwal waktu latihannya sudah berubah, sedangkan teman/partner bowling-ku semuanya sudah tidak aktif lagi, dan entah dimana mereka bekerjanya saat aku kembali dari Inggris.

Salah satu temanku yang bekerja di sebuah perusahaan minyak asing, mengajakku lari di daerah pedalaman Ciputat, karena menurut “Hash sheet” (selebaran Hash) yang dia ambil dari restoran King’s Head, jadwal untuk Rabu sore tsb -adalah di sana.“Sar, jika mau ikut bawalah perlengkapan olah raga,sepatu sport, T-shirt, short dan handuk kecil, nanti saya jemput”,ungkapnya.

Hari Rabu yang dijanjikan kebetulan gerimis, tapi tidak menyurutkan aku dan temanku untuk pergi ke lokasi yang disebutkan dalam Hash sheettsb.Malahan menyenangkan, apalagi ketika tiba di lokasi lari, ternyata pesertanya cukup banyak, kebanyakan orang asing yang bekerja di Jakarta, termasuk para Guru dari Jakarta International School Cilandak. Sebelum lari dimulai semua peserta diharuskan membayar iuran yang telah ditetapkan oleh panitia untuk biaya minuman sehabis lari, kemudian panitia-nya memberikan penjelasan tentang rute jalan yang akan dilalui, ditandai dengan taburan serbuk potongan kertas, dan tepat jam 5 sore barulah lari dimulai, rombongan lari tiba kembali di tempat sekitar jam 6 sore.

Beberapa minggu kemudian, persisnya pada pertengahan th 1987, kuputuskan untuk menjadi anggota tetap dari grup lari lintas alam di atas, biaya pendaftaran dan iuran minuman untuk enam bulan kubayar sekaligus, bagiku selain lebih murah juga menghemat waktu.Sebab bila tiba di lokasi sedikit terlambat saja, petugas admin biasanya sudah mengunci petty cash-nya, atau pendaftaran lari sudah tutup.

Adapun mengenai larinya, tidak di jalanan aspal tapi di jalanan tanah, menyusuri pematang sawah, kebun dan sesekali melintasi jembatan sungai kecil, yang hanya terbuat dari dua batangkayubulat,potongan dari pohon kayu albasia, ataupun bambu. Jarak tempuh kurang lebih sekitar 6/7 Km untuk satu jam lari, akan tetapi tergantung dari keadaan daerah yang dilintasi, bila banyak perbukitan, menerobos lapangan yang penuh dengan alang-alang serta tebing sungai yang curam, nyebrang sungai yang arusnya deras, bisa saja waktunya melebihi satu jam.

Ketika kemacetan jalanan di Jakarta dan sekitarnya sudah sulit dihindari, perjalanan dariJakarta pusat menuju lokasi lari, yang kebanyakan berlokasi di pinggiran/luar kota, juga tak mungkin lagi bisa ditempuh dalam waktu 45 menit ataupun satu jam seperti tahun-tahun sebelumnya.Sejak itu akupun mulai mengurangi kegiatan lari lintas alam tsb,dan hanya ikut pada event tertentu di akhir pekan - “week-end run” saja, pada tahun 1997aku sama sekali berhenti lari total, akibat kemacetan jalanan yang semakin parah.

Tapi suasana Hash, canda-tawa di lingkaran yang mengelilingi tenda, lagu-lagu berbahasa Inggris yang syairnya diganti ataupun diplesetkan dengan kata-kata yang lucu, nakal dan sedikit jorok, yang membuat para peserta lari terpingkal-pingkal gembira, masih terbayang olehku.

Diantara para peserta lari mungkin akulah yang paling merasa sedih dan malu jika sudah melintasi perkampungan yang penduduknya sangat miskin.Seperti di sebuah pedalaman Bekasi yang syaratdengan air bersih, dan kering kerontang di musim panas,pesawahan-pun tanahnya retak-retak terbelah menganga yang cukup dalam. Para petaninya kebanyakan tinggal di rumah gubuk belakang rumpun-rumpun bambu yang jauh dari keramaian, tapi hanya sekian kilometer dari gemerlapnya Mall dan pusat kota yang terang benderang.

Potret kemiskinan semacam itulah yang paling sulit dihilangkan dari benakku, keindahan bukit Cinere, dan gemerciknya air sungai di sawah, kokoh dan indahnya Gunung Salak yang terlihat dari pedalaman bukit Sentul, seakan hilang tidak berbekas dari ingatanku, kalau dimukaku terbayang tempat kumuh dan miskin di Karawaci, Cikupa dan pinggiran kota Tangerang lainnya.

Potret kemiskinan diantaraVilla dan tempat Wisata -Inilah yang mungkin sulit dipercaya.

Sekitar th 1996grup lari lintasalam Jakarta,pernah mengadakan “familyweek-end run”, larinya sore hari, dan berlokasi di belakangPerkebunan Teh Gunung Mas - Puncak, rombongan lari berkumpulnya di sebuah lapangan sepakbola.Ketika rombongan peserta lari tiba, di lapangan sepak bola tsb sudah berjejer anak-anak, entah itu anak buruh perkebunan teh, ataupun anak penduduk setempat, yang jelas kelihatannya anak-anakdari keluarga kurang mampu/miskin.

Sewaktu mereka bergerombol mengelilingitukang miebaso, yang sedang meladeni pembelinya, kubalikkan langkahku, karena tak kuasa melihatnya dan air mataku juga tak bisa diajak komfromi, langsung membasahi kacamata-ku.Aku hanya berdiri dan merenung sejenak, ternyata alam yang indah dan subur ini belum bisa dinikmati oleh orang tua mereka yang tinggal disini, walau sudah lebih dari 50 tahun Indonesia merdeka, gumamku.

Mungkin lapangan sepak bola ini adalah tempat bermain mereka untuk menghilangkan kesepian dan kejenuhannya, dan bila ada keramaian, anak-anak itu cuman jadi penonton, memperhatikan orang yang membeli makanan sepertimie baso atau orang yang sedang menikmati makananlain di sekitarnya.

Saat itu, aku-pun kemudian menjauhi tempat penjual makanan, dan si tukang mie baso kupanggil agar memberikansemangkuk mie baso pada masing-masing anak yang berada disitu, aku yangakanmembayarnya, tukasku.

Hal ini kulakukan, karena aku merasamaluolehteman-teman peserta dari grup lari lintas alam yang hampir 85 persen anggotanya adalah orang asing, dan mereka datang bersama keluarganya, yang kutakuti adalah jika keluarganya mencurigai dan mencibir anak-anak kumuh yang bergerombol tsb, bagaimana perasaannya jika hal itu terjadi kepada mereka, yang sebenarnya mereka adalah penduduk asli disitu.

Empat tahun kemudian keluarga kakak-ku mengajakpergi kePerkebunan Teh Gunung Maskarena seluruh grup senam se-Jakarta Timur akan mengadakan senam massal gabungan disana,dimana kakak-ku juga termasuk salah satu anggotanya.Seluruh pesertanya harus bawa makanan masing-masing, ungkap kakak-ku.

Kemudian kusarankan padanya supaya lawuh untuk makanansiang bawa yang banyak.Untuk apa?katanya,kita lihat saja nanti, mungkin bermanfaat, jawabku.

Senam massal diadakan di lapangan sepak bola yang sama, dan begitu selesai dengan segala acara permainanantargrup,tibalah saatnya makan siang, dan tidak jauh berbeda pula, anak-anak penduduk perkebunan teh itu sudah pada berdirisekitar dua/tiga meter daritikar-tikar yang digelar untuk persiapan makan, sebagian dari anak-anak tsbada yang bersandar di belakang pohon, dan tetap memperhatikanorangyang maubersantap makan siang.Begitu acara makan sudah selesai, sisa makanan yang masih cukup banyak itu oleh kakak-ku dibungkusin lagi dan dimasukkan kebox makanan.

Sebentar kataku, coba lihat - kenapa kelompok anak-anak yang berdiri itu  terus memperhatikan kita semua?Kelihatannya mereka ingin mencicipi makanan kita, mungkin orang tua mereka tidak mampu untuk membeli makanan yang aneh-aneh seperti di kota besar.Disamping tak ada/jarang pedagang daging atupun ikan laut yang masuk ke dalam lingkungan atau daerahdi perkebunan teh yang  sangat jauh dari jalan raya.

Coba panggilah mereka dan tawari makanan yang masih tersisa jangan dibawa pulang, karena anak-anak itu juga punya rasa segan, jika tidak kita panggil.Begitu dipanggil dan ditawarin makanan oleh kakak-ku, mereka serempak datang dan berebut makanan.Lalu aku bilang pada mereka, agar semua makanannya dibagi rata, tapi minta tolong sampah-sampah danbekasbungkus makanan yang berserakan, dimasukkan ke kantong plastik dan dibuang ke tempat sampah, jadi tempat ini bersih kembali.

Melihat anak-anakyang duduk berkumpul mencicipi makanan dan minuman tsb, kakak-kudengan raut muka yang kelihatannya sedih, berbisik :“ benar juga kasihan ya anak-anak itu”coba lihatsebotol minuman Fanta atau Coca-Colasaja diminum olehtiga/empatanak bergantian.

Itulah sebabnya, kenapa tadi pagi kusarankanagarmembawa makananyang lebih banyak, buktinya sudah melihat sendirikeadaanyang sebenarnya anak-anak dari penduduk daerah ini. Bersyukurlah kita masih diberi kesempatan untuk memberikan sedikit rizkikepada mereka, dan makanan tidak mubazir, kataku.

Inilah sebuah potret kemiskinan di tengah maraknya Villa dan tempat Wisata, kemiskinan sebagian bangsa kita yang tidak tersentuh ataupun luput dari perhatianpara Pejabat Tinggidan Dewan Terhormat – Indonesia, dimana sebetulnya kita harus malu, tahu dan sadar, bahwa di pedalamanPuncakitu  masih banyakrakyat yangMISKIN.

Kami sangat kecewa atas Perhelatan Akad NikahIbas dan Aliyah yang diadakan di Istana Cipanas,bukannya karena belum pernah ada dalam sejarahnya seorang Presiden Indonesia, yang membuat pesta pernikahan putra-putrinya di Istana, akan tetapi dibelakang (pedalaman) kedua belah jalur kiri dan kananjalan Raya tersebut,banyak petani dan rakyat yang masih miskin kehidupannya.



Ternyata "Tenggang Rasa"  itu sudah  tiada   . . . . . .

yang tinggal  hanyalah  Kekuasaan  dan Ke-Arrogant-an . . . . .



East Victoria Park

November 29, 2011




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline