Lihat ke Halaman Asli

Ghosting: Menghilang dari Peredaran atau Lari dari Kenyataan?

Diperbarui: 9 Maret 2021   09:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Belakangan ini muncul istilah baru yang lagi nge-hist di perkampungan media sosial, yaitu "Ghosting." Istilah ghosting ini sebenarnya sudah muncul dalam kajian ilmiah sejak tahun 2019. 

Salah satu studi memberikan definisi ghosting sebagai bentuk perilaku menghentikan komunikasi dari individu secara sepihak (baik sementara maupun permanen) sebagai upaya untuk memutuskan suatu hubungan (baik secara tiba-tiba atau bertahap) yang biasanya dilakukan melalui satu atau beberapa media teknologi. Device yang sering digunakan sebagai media "gostingin' sebagian besar adalah gawai atau telepon pintar.

Menilik istilah ghosting sendiri, penulis seakan teringat dengan film Hollywood berjudul "Ghost" yang sempat menjadi box office dan fenomenal pada media sekitar tahun 90-an. Film tersebut bercerita tentang seorang wanita malang yang kemudian dapat berkontak dengan ghost (bayangan hantu) suaminya yang terbunuh melalui bantuan seorang dukun atau cenayang. 

Selaras dengan pengertian ghost dalam film itu, ghosting dalam kamus istilah Bahasa Inggris berarti "berbayang". Dengan kata lain, ghosting dapat dikatakan sebagai perilaku menghilang secara tiba-tiba yang berbayang laksana hantu.

Perilaku ghosting biasanya dapat dikenali dalam bentuk perubahan sikap dari salah satu pihak, misalnya: tindakan tidak membalas panggilan telepon atau pesan dalam kurun waktu yang lama, dengan tujuan dasar untuk memutuskan semua hubungan kontak yang sebelum telah terjalin. 

Dalam konten hubungan sosial, perilaku ghosting ini dapat sebagai upaya individu itu untuk menghilang dari peredaran dirinya dalam komunitas sebelumnya. Sisi lain, dapat sebagai manifestasi cara penghindaran dari suatu hal yang tidak meng-enakkan atau in-secure (tidak nyaman) dalam pergaulan sosialnya. Kondisi tersebut tentu perlu dipandang sebagai upaya untuk lari dari kenyataan.        

Perilaku ghosting tidak hanya berkonotasi dalam sebuah hubungan romantis pasangan dewasa, melainkan dapat juga dijumpai pada hubungan pekerjaan, pertemanan atau komunikasi sosial lainnya. Salah satu penelitian menjelaskan bahwa dalam perilaku ghosting ini terdapat 2 obyek individu yang terlibat di dalamnya, yaitu pelaku dan korban dari perilaku ghosting. 

Suatu survei di AS menamakan pelaku sebagai ghoster atau individu yang melakukan inisiasi ghosting, sedangkan individu korban yang di ghostingin sebagai ghostee. Dampak psikologis yang timbul dari keduanya akibat perilaku ghosting ini adalah dapat setara, yaitu timbulnya mood depresi akibat hilangnya dukungan sosial.

Fenomena ghosting ini tampaknya tidak dapat dilepaskan dari perkembangan canggih dunia teknologi digital yang makin mendekatkan jalinan interaksi sosial. Sehingga ruang maya-pun menjadi terasa sesak oleh avatar-avatar yang hiruk pikuk untuk datang dan pergi. Aspek psikososial tidak dapat dilepaskan sebagai faktor yang berkontribusi terhadap fenomena ini, seperti: karakter kepribadian, stress (tekanan), dan dinamika ingkungan sosial.  

Sebagai simpulan, seyogyanya kita sebagai mahluk sosial yang hidup di tengah dimensi futuristik ini tetap mampu resiliensi menghadapi tantangan ke depan serta bersikap arif dalam menyikapi oerilaku ghosting ini. Tetap berkontak sosial di masa Pandemi COVID-19 ini melalui peralatan canggih yang mendukung. Hindarkan sikap ghosting agar kesehatan terhindar dari mood depresi.

Referensi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline