Lihat ke Halaman Asli

Aksi Penembakan Brutal di SD Sandy Hook – Apakah Gangguan Jiwa?

Diperbarui: 24 Juni 2015   19:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Aksi brutal berupa serbuan penembakan ke ruang publik oleh individu secara sendirian kembali terjadi di Amerika Serikat. Peristiwa yang baru terjadi ini lebih mengenaskan dibandingkan dengan aksi serupa yaitu Tragedi “Joker” yang pernah terjadi saat pemutaran perdana Film Batman di negeri adidaya itu juga. Tragedi yang terjadi di SD Sandy Hook Newton Connecticut Amerika Serikat ini lebih mengenaskan karena: terjadi di lingkungan sekolah dasar, korban lebih banyak, dan terdiri dari anak-anak kecil yang sedang belajar di dalam kelas.

Dalam beberapa surat kabar menyebutkan bahwa pelaku diduga menderita “gangguan jiwa.” Terkait dengan dugaan tersebut, saya hanya mencoba untuk mencari suatu jawaban dari praduga tersebut. Berdasarkan informasi yang terdapat dalam beberapa sumber media baik cetak maupun elektronik terkait berita tersebut. Terdapat beberapa informasi penting yang mungkin dapat menjadi suatu pointer (penanda) kepada suatu gambaran “gangguan jiwa.” Berdasarkan telaah sederhana pada kasus tersebut, ditemukan beberapa item perilaku pada pelaku yang mengarah pada “Gangguan Perilaku” atau Conduct Disorder sesuai pedoman diagnostik gangguan jiwa “DSM IV-TR” yang digunakan di Amerika Serikat.

Kriteria tersebut adalah: terdapat agresi (kekerasan) pada orang dalam bentuk menggunakan senjata yang menyebabkan bahaya fisik secara serius pada orang lain. Dalam hal ini pelaku menggunakan senjata api dan memberondong senjatanya itu kepada 20 siswa yang berusia 5 sampai 10 tahun di dalam dua ruang kelas. Perilaku tersebut telah menyebabkan korban meninggal; baik anak maupun orang dewasa yaitu sebanyak 26 orang. Korban terdiri dari: murid sekolah dasar, guru, kepala sekolah, dan ibu kandung dari pelaku penembakan itu. Kriteria lain yang terpenuhi pada pelaku tersebut: poin pelanggaran peraturan yang serius, yaitu telah membongkar masuk ke dalam gedung publik dengan melakukan perusakan. Dalam hal ini, pelaku masuk ke gedung sekolah tanpa izin dengan merusak pintu masuk sekolah dan kemudian membuka secara paksa pintu ruang kelas untuk kemudian melakukan aksi penembakan kepada seluruh siswa yang sedang belajar di dalam kelas itu.

Dalam laporan polisi yang kemudian datang ke tempat kejadian, pelaku ditemukan juga tewas bunuh diri dengan cara menembakkan dirinya sendiri. Dalam laporan polisi dikatakan bahwa saat melakukan aksi penembakan di sekolah dasar, pelaku tampil dengan seragam militer berwarna hitam yang anti peluru.Dari kacamata secara psikiatri (kejiwaan), perlu suatu kajian kejiwaan yang mendalam pada diri pelaku yang usianya baru saja melewati akhir dari periode masa usia remaja, yaitu 20 tahun. Seragam militer anti peluru yang dipakai pelaku menyajikan suatu pertanyaan: apakah ada suatu warna gangguan isi pikiran dalam kepalanya sehingga kemudian pelaku memilih menggunakan seragam militer anti peluru tersebut. Karena aksi penembakan dengan memakai pakaian yang tak biasa ini memiliki kemiripan dengan peristiwa mengenaskan serupa yaitu Tragedi “Joker” sekitar medio Bulan Juli 2012. Dimana seorang pria dewasa yang berpakaian aneh seperti layaknya tokoh “Joker” yaitu musuh dalam Film Serial Batman. Aksi tersebut juga memberondong tembakan membabi buta terhadap para penonton yangsedang menonton penayangan perdana dari Film “Batman: The Dark Knight.”

Aksi tersebut juga mengakibatkan korban tewas di tempat sebanyak 12 orang. Berdasarkan informasi mengenai pakaian yang dikenakan oleh pelaku, diperlukan suatu pemeriksaan psikiatrik terkait dengan gambaran gejala psikotik (gangguan isi pikiran) berupa waham (keyakinan yang tidak realistis) berbentuk wajar kejar (kecurigaan terhadap suatu hal) atau waham kebesaran (merasa menjadi tokoh penting suatu aksi terror) pada pelaku. Namun hal ini tentunya tidak dapat dikaji secara lebih mendalam, karena pelaku kemudian memilih bunuh diri setelah melakukan aksi brutalnya tersebut di tempat kejadian.

Selain itu, pertanyaan lain yang muncul dari kacamata psikiatri (kejiwaan) adalah psikodinamika dari karakter pelaku dari aksi penembakan tersebut. Informasi yang terangkum dalam sumber media menyebutkan bahwa pelaku penembakan tersebut adalah individu yang jenius dan pendiam. Sebelum melakukan aksi penembakan di sekolah, pelaku ternyata melakukan aksi serupa terhadap ibu kandung di rumahnya yang tidak jauh dari lokasi sekolah tersebut. Dugaan sementara, aksi tersebut dilakukan setelah pelaku cekcok dengan ibu kandungnya itu. Terkait dengan karakter jenius dan pendiam yang menjadi premorbid dari permasalahan emosi dan perilaku pada pelaku penembakan tersebut tentu harus dicari bukti ilmiahnya dalam berbagai literatur psikiatrik dan psikologi.

Sajian kasus ini telah membuka mata kita akan pentingnya suatu peraturan terhadap kepemilikan senjata api agar tidak digunakan secara serampangan. Dalam hal ini, pelaku baru saja genap dua tahun melewati batas usia remajanya. Dalam pedoman WHO (World Health Organization) dikatakan bahwa kriteria anak dan remaja adalah individu yang memiliki usia biologis dibawah 18 tahun. Dalam hal ini pelaku tersebut sedang menjalani suatu periode dalam pembentukan ciri kepribadian. Tragedi tragis ini juga menghadirkan suatu rekomendasi akan pentingnya suatu larangan terhadap jenis-jenis permainan berbau “kekerasan” dalam kegiatan outdoor (lapangan) atau indoor (video games, komputer, dan internet) bagi anak dan remaja. Tentunya, orangtua di zaman globalisasi sekarang ini harus memiliki waktu ekstra dalam menyeleksi berbagai jenis permainan yang dapat dikonsumsi oleh anak dan remajanya. Hal tersebut penting, mengingat aksi yang dilakukan pelaku adalah berupa penyerbuan ke gedung publik. Aksi ini tidak menutup kemungkinan sebagai dampak dari meniru aksi serupa yang individu tersebut lihat dari tema-tema permainan berbau kekerasan, pertempuran dan perkelahian.

Tulisan ini tentu tidak hanya menyoroti masalah emosi dan perilaku yang mungkin terdapat pada pelaku aksi penembakan itu. Tetapi secara lebih jauh, yaitu dampak psikologis dan kejiwaan yang diakibatkan oleh peristiwa itu pada orangtua dari victim (korban) dan survivor (individu yang selamat). Gangguan jiwa yang dapat muncul kemudian berupa gangguan mood (suasana perasaan) berupa depresi pada orangtua yang anaknya menjadi korban mati dari aksi brutal pelaku. Mengingat tempat kejadian adalah sekolah bagi anak usia 5 sampai 10 tahun, maka siswa di ruang kelas lain yang selamat dari tragedi tersebut perlu mendapatkan suatu perhatian. Gangguan jiwa pada anak dan remaja paska suatu kejadian yang mengancam jiwa dapat bermanifestasi sebagai reaksi stres akut karena trauma terhadap bunyi tembakan dan cekaman rasa takut yang ada di ingatannya. Apabila hal ini tidak ditangani dengan baik, dapat berkembang kepada suatu gangguan stres paska trauma (post traumatic stress disorder) terkait flash back dan mimpi menakutkan dari peristiwa traumatik.

Sebagai simpulan, perlunya suatu kesadaran dari masyarakat khususnya orangtua untuk mengenali tanda awal dari gangguan emosi dan perilaku pada pada anak dan remaja. Hal tersebut penting mengingat apa yang dialami atau diperoleh oleh individu di periode kanak dan remaja dapat berkontribusi terhadap segala hal yang terjadi di masa dewasanya kelak. Dengan demikian, mari kita berupaya untuk melakukan de-stigmatisasi terhadap gangguan jiwa agar terwujud suatu individu yang sehat jiwa dan berperibadian mantap di Indonesia.

Upaya tersebut dapat diwujudkan dengan senantiasa berkonsultasi kepada profesi ahli kesehatan jiwa atau psikiater apabila menemukan suatu permasalahan emosi dan perilaku pada anak, remaja, dewasa, lansia atau anggota keluarga lainnya. Ragam layanan tersebut dapat ditemukan di berbagai rumah sakit jiwa di Indonesia, diantaranya: instalasi kesehatan jiwa anak dan remaja, poliklinik dewasa dan geriatri (lansia), dan program rehabilitasi kesehatan jiwa. Mari kita tanamkan pemahaman baru bahwasannya rumah sakit jiwa merupakan pusat rujukan dan konsultasi terhadap berbagai permasalahan kesehatan jiwa, yang rentang derajatnya mulai dari ringan sampai berat.

(Isa M Noor – Psikiater di RSJ Dr. Soeharto Heerdjan Grogol Jakarta).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline