Lihat ke Halaman Asli

Kekerasan Seksual pada Anak, Paedofilia, Trauma, dan Underwear Rule

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1398948915593616837

[caption id="attachment_334275" align="aligncenter" width="608" caption="Ilustrasi/ Kompasiana (Kompas.com)"][/caption]

Tajuk berita mengenai kasus kekerasan seksual pada anak dan pelaku paedofilia di beberapa harian ibukota beberapa minggu terakhir ini cukup mengusik saya untuk menulis sebuah tinjauan singkat mengenai isu hangat tersebut. Saya jadi teringat akan presentasi book reading saya dulu saat menjalani pendidikan psikiater. Setelah berkutat dengan tumpukan kertas berdebu di kamar kerja, makalah itu pun ditemukan juga. Walaupun dengan sedikit batuk dan debu di jari-jemari, eureka!.

Perjuangan tersebut rasanya tidak sebanding dengan manfaat yang bisa saya sajikan terkait topik kekerasan seksual pada anak ini. Walaupun sedikit jadul, karena makalah ini ditulis tahun 2005 tetapi esensinya saya kira masih tetap segar untuk di ulik pada tahun 2014 ini berkaitan isu kejadian kekerasan seksual pada anak di salah satu sekolah terkenal ibukota Jakarta.

Istilah kekerasan seksual pada anak sebenarnya telah didefinisikan sejak tahun 1999 oleh American Academy of Pediatrics. Kekerasan seksual adalah perlakuan seksual pada anak yang belum cukup oleh orang dewasa, dan melanggar hukum serta norma sosial. Perlakuan seksual tersebut mulai dari kontak fisik yang tidak wajar sampai kepada hubungan seksual atau perkosaan.

Kekerasan seksual pada anak secara legal, berupa kontak seksual antara orang dewasa dan anak yang belum cukup umur atau antar anak tetapi dengan perbedaan umur yang bermakna dan terdapatnya paksaan atau eksploitasi. Penelitian menunjukkan kekerasan seksual antar anak, apabila dijumpai perbedaan usia sekitar 4- 5 tahun antara pelaku dan korban. Bentuk kekerasan seksual lain adalah inses, yaitu kekerasan seksual pada anak dalam keluarga inti, misalnya antara orangtua-anak, atau antar saudara.

Kekerasan seksual pada anak dapat dijumpai dalam berbagai bentuk, diantaranya: belaian pada daerah genital, anus atau dada, hubungan seksual genital atau anal, seks oral, atau penetrasi dengan benda-benda. Tetapi dapat pula berbentuk perlakuan seksual tanpa setuhan, seperti: memaksa anak untuk bertelanjang demi membuat gambar atau tayangan video porno anak, atau memaksa anak menyaksikan gambar atau tayangan porno.

Pelaku kekerasaan seksual pada anak yang berumur dewasa disebut sebagai paedofilia yang berusaha dengan berbagai cara untuk mendekati anak-anak, misalnya dengan mengunjungi organisasi remaja, tempat hiburan, sekolah, tempat publik dimana remaja bermain, internet, email, atau ruang chatting.

Faktor-faktor yang dapat memicu pelaku untuk melakukan kekerasan seksual pada anak, diantaranya: tidak sengaja menyaksikan orang dewasa berhubungan seksual, keadaan manik atau hipomanik, sampai paparan gambar atau tayangan porno.

Sebuah peelitian retrospektif menunjukkan 10-25% anak perempuan pernah memiliki riwayat kekerasan seksual dalam berbagai bentuk sebelum mencapai usia 18 tahun. Sedangkan pada anak lelaki menunjukkan sekitar 18% pernah mengalami kekerasan seksual di masa kanak. Kebanyakan korban mendapatkan kekerasan seksual pertama kali pada usia 8-11 tahun. Suatu laporan di Amerika tahun 1994 menunjukkan bahwa ayah atau figur ayah dilaporkan sebagai pelaku utama dan dewasa muda pada 20% kasus kekerasan seksual. Anak lelaki cenderung kurang terbuka untuk mengakui pelaku, karena takut tidak dipercaya, taku dibalas oleh atau adanya ancaman pelaku, stigma sosial, atau enggan mengakui dirinya lemah. Apabila pelakunya lelaki, remaja lelaki cenderung tidak mau mengakui adanya kekerasan seksual karena takut dianggap homoseksual dan malu atas akibatnya. Suatu penelitian menunjukkan bahwa remaja lelaki dengan riwayat kekerasan seksual lebih cenderung menjadi homoseksual daripada anak tanpa riwayat kekerasan seksual.

Penyebab terjadinya kekerasan seksual dikatakan multifaktorial, diantaranya karakteristik keluarga: isolasi sosial, struktur patriarki yang kaku, hubungan perkawinan yang buruk, kekerasan dalam rumah tangga, dibesarkan oleh orangtua tiri, riwayat keterlibatan dalam tindak kriminal, dan adanya gangguan kepribadian pada orangtua. Ayah yang melakukan kekerasan seksual banyak dilaporkan tidak mempunyai pekerjaan tetap, kecanduan alkohol, dan ditolak secara seksual atau emosional oleh pasangan.

Kebanyakan paedofilia ternyata mempunyai karakteristik sebagai perikut: memiliki gangguan kepribadian (pasif-agresif), terdapat riwayat kekerasan seksual di masa kanaknya, yaitu sebanyak 35-40% pernah mendapatkan pelecehan seksual. Paedofilia cenderung memilih korban yang menyerupai atau seusia dirinya saat pertama kali mengalami kekerasan seksual dan memiliki karakter yang cenderung pasif dan lemah pada berbagai aspek kehidupan.

Dampak dari kekerasan seksual pada anak tentunya adalah trauma. Anak muda cenderung menunjukkan reaksi marah, perilaku hiperseksual, menelanjangi diri sendiri (eksibisionisme, masturbasi berlebihan, merangsang diri sendiri, atau tingkah laku seksual provokatif), preokupasi seksual dalam percakapan dengan orang dewasa dan kemudian melakukan kekerasan seksual kepada anak yang lain atau sering melakukan tindakan menyalakan api (piromania). Pada remaja menunjukkan pula perilaku penyalahgunaan obat atau kenakalan. Suatu studi menunjukkan remaja Asia korban kekerasan seksual lebih cenderung untuk melakukan bunuh diri. Suatu penelitian lain menunjukkan bahwa orang dewasa dengan riwayat kekerasan seksual pada masa kanak memiliki kerentanan untuk menjadi korban kekerasan seksual lagi di masa dewasa, kesulitan menjalin hubungan keintiman dan fungsi seksual, serta kesulitan dalam mengasuh anak.

Gejala internal pada remaja dapat pula ditemukan berupa menarik atau mengisolasi diri seperti depresi (merasa bersalah atau merasa bertanggung jawab terhadap kekerasan seksual yang dialaminya) dan kecemasan atau fobia.

Kekerasan seksual sering tidak terdeteksi di masyarakat, karena adanya anggapan tabu atau ketidaknyamanan saat membicarakan masalah seksual. Upaya yang dapat dilakukan sebagai prevensi atau penceahan terhadap perilaku kekerasan seksual pada anak adalah dengan penerapan underwear rule. Underwear rule adalah mengajarkan anak mengenai sentuhan-sentuhan yang dapat mengarah pada bentuk kekerasan seksual, dan membekali mereka cara-cara menghadapi pelaku kekerasan seksual.

Dr Isa Multazam Noor, MSc, SpKJ(K) – Psikiater Anak di Instalasi Kesehatan Jiwa Anak & Remaja RSJ Dr Soeharto Heerdjan Grogol Jakarta Barat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline