Lihat ke Halaman Asli

Jadilah Pengusaha, Jangan Jadi Kapitalis

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Adalah sangat indah berjalan-jalan bersama Ayah menyusuri pematang sawah di belakang rumah.
Menikmati hangat mentari pagi, mendengarkan petani membajak sawah bernyanyi dengan riang-sendu.
Saat lembayung sore memenuhi dunia seisinya dengan mosaik cahaya bertaburan.
Ini bukan dongeng yang dibacakan ibu menjelang tidur, ini kisah nyata yang saya dan anak-anak lainnya tak akan alami lagi.

Kini sawah yang hijau itu hanya sepetak saja, sisanya berdiri rumah-rumah hunian yang beragam. Yang kini rumah-rumah itu telah ramai oleh keluarga-keluarga baru yang saling bertetangga. Banyak wajah-wajah baru yang tidak saya kenal, barangkali hanya beberapa saja, itupun karena mereka merupakan penghuni lama. Petani dan kerbau itu pergi entah kemana, yang jelas tak pernah saya dengar lagi nyanyian riang-sendu yang biasa pak petani dendangkan ketika membajak.

Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi ditambah dengan makin banyaknya populasi manusia, adalah salah satu alasan bagus kenapa sawah dan kerbau itu semakin langka ditemukan.
Bagaimana tidak, dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk kebutuhan akan konsumsi pun jelas akan bertambah. Kebutuhan akan tempat tinggal menjadi salah satu kebutuhan pokok manusia yang tak bisa ditawar-tawar.

Tidak ada yang salah dengan perumahan, tidak ada yang salah dengan mesin penggarap. Permasalahannya terletak ketika pembangunan dan kemajuan zaman dilakukan tidak berlandaskan nilai-nilai humanis dan aspek keseimbangan alam.

Dalam hal ini adalah seorang pemodal atau orang yang menjalankan bisnis. Ketika seorang pengusaha menjalankan usahanya dengan tidak mengindahkan etika bisnis, nilai-nilai humanisme dan aspek lingkungan maka inilah yang menjadi masalah. Orang seperti itulah yang diberikan predikat sebagai kapitalis.

Kapitalis inilah yang membuat tatanan nilai dan keteraturan alam rusak. Mereka dirikan bangunan untuk dijadikan pusat perbelanjaan demi keuntungan mereka, tetapi tidak memerhatikan kelestarian alam. Seperti halnya yang terjadi pada kasus teluk Buyat. Masyarakat sekitarlah yang dirugikan. Warga buyat kehilangan hak-hak mereka sebagai manusia yang sehat.

Merkuri yang dicemarkan oleh pabrik yang didirikan di sekitar tempat tinggal mereka menyebabkan penyakit kulit dan mencemari tanah dan air mereka. Padahal mereka hidup dari alam sekitarnya. Air yang mereka gunakan untuk mandi dan minum, ikan yang mereka tangkap untuk bersantap tercemar merkuri. Miris kita mendengarnya, bukan?

Seorang kapitalis adalah seorang yang menghalalkan segala cara untuk meraup keuntungan pribadi dan koorporasinya. Dia tidak peduli dengan etika bisnis yang dijalankan dan tidak akan ambil pusing jika lingkungan alam sekitarnya rusak. Dia tidak merasa berdosa sekalipun ada orang-orang yang merasa teraniaya.

Tidak begitu halnya dengan seorang pengusaha yang nonkapitalis. Dia menjalankan bisnisnya dengan hati, memerhatikan etika bisnis yang baik dengan seksama. Pengusaha seperti ini tidak menginginkan jika ada klien yang dirugikan, tidak ingin mengorbankan lingkungannya hanya untuk membuatnya bertambah kaya.

Wajarlah jika kawan-kawan dari pergerakan terutama kaum sosialis lantang meneriakan antikapitalisme. Kapitalisme adalah musuh bersama yang harus diperangi guna kepentingan bersama terutama bagi mereka rayat kecil! Kapitalisme membuat jurang pemisah antara si miskin dan si kaya semakin lebar. Yang kaya semakin kaya yang miskin semakin terpuruk dalam kemiskinannya.

Adanya jurang ini menyebabkan tatanan nilai di masyarakat rusak. Dunia akan dipandang sebagai hal yang terlalu matrealis. Dan ketika itu terjadi, maka masyarakat akan memandang dan mengukur segala sesuatu dengan secara matrealis. Nilai-nilai dan aspek humanisme menjadi hilang. Hukum yang dipakai nantinya adalah hukum rimba. Siapa yang terkuat dialah pemenangnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline