Setelah dilantiknya Prabowo Subianto sebagai Presiden ke-8 Indonesia, media sosial sempat dihebohkan dengan akan adanya perubahan PPN yang awalnya 11% naik menjadi 12% pada tahun 2025. Kenaikan PPN ini pun menuai banyak respons negatif dari netizen, karena jika harga barang dan jasa naik sedangkan daya beli masyarakatnya masih rendah, maka pendapatan industri juga ikut turun, sehingga pada akhirnya karyawan pabriklah yang merasakan dampak terbesarnya.
PPN atau Pajak Pertambahan Nilai sendiri adalah pajak yang dikenakan untuk setiap terjadinya produksi maupun distribusi barang atau jasa. Pihak yang harus membayarkan PPN adalah konsumen dari barang atau jasa yang digunakannya. Produsen atau distributor yang mendapatkan tambahan uang PPN dari barang atau jasa yang dijualnya kemudian harus melaporkan PPN tersebut kepada Direktorat Jenderal Pajak dalam bentuk Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). Lalu, pajak yang didapatkan inilah yang nantinya akan dimasukkan ke dalam APBN. Dalam APBN juga segala rencana pengeluaran negara tertulis.
Penyebab Naiknya PPN
Seperti yang kita tahu, dalam masa jabatan Presiden Prabowo, banyak sekali program pemerintah yang nantinya harus dilakukan terutama program beliau yaitu Makan Bergizi Gratis (MBG). Program ini tentunya membutuhkan anggaran dana yang tidak sedikit dalam merealisasikannya. Di samping itu, Indonesia juga perlu melunasi hutang dan bunga negara yang membengkak karena pandemi. Sehingga, untuk menstabilkan APBN diperlukan pemasukkan yang lebih yaitu dengan menaikkan PPN menjadi 12%.
Selain itu, kenaikan PPN ini ternyata juga sudah direncanakan dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Tujuan utama dari dibentuknya undang-undang ini yaitu untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mendukung pemulihan perekonomian, mengoptimalkan APBN, reformasi perpajakan, serta untuk menigkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak. Jadi, keputusan pemerintah untuk memberlakukan PPN 12% bukanlah secara sepihak dan tiba-tiba, karena pada masa pemerintahan sebelumnya hal ini sudah disepakati. Perlu diketahui juga bahwa tidak semua barang dan jasa dikenai PPN 12%, terutama kebutuhan pokok seperti beras, telur, sayur dan buah. Jasa layanan kesehatan, jasa pendidikan, jasa angkutan umum serta jasa-jasa yang bersifat mendasar juga tidak dikenai PPN.
Mendongkrak Daya Beli Masyarakat dengan Bansos
Kebijakan naiknya PPN 12% ini tentunya akan memunculkan reaksi dalam masyarakat terutama sektor-sektor kecil yang menyediakan barang dan jasa non-primer. Sektor-sektor kecil ini tentunya akan melakukan penolakan karena harga barang atau jasa yang mereka sediakan akan naik sedangkan daya beli masyarakatnya semakin rendah. Akibatnya, pemberlakuan PPN 12% menjadi tidak efektif karena sedikitnya trnasaksi yang terjadi dan pada akhirnya defisit negara kembali membengkak.
Untuk itu, saya rasa pemerintah perlu mendongkrak daya beli masyarakat terlebih dahulu dengan bantuan sosial terutama dalam hal kebutuhan-kebutuhan pokok seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, serta BBM dan listrik. Ketika kebutuhan pokok masyarakat sudah terpenuhi, masyarakat pun dapat menyasar sektor-sektor non-primer, sehingga diharapkan sektor-sektor ekonomi kecil non-primer ini dapat bangkit dan mampu bersaing di dalam negeri secara sehat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H