Lihat ke Halaman Asli

Mitos Keramahtamahan

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di belantara kota, seorang pejalan kaki ialah minoritas. Tentunya, saya tidak sedang berbicara tentang New York, Paris, London, atau Amsterdam. Ini Yogyakarta.

Pada minggu terakhir bulan Januari 2010, saya mencatat tiga tokoh dalam memori saya; semuanya pengguna jalan dengan empat roda. Saya akan memulainya dengan yang terburuk.

Di jalan Nologaten, ke arah selokan, saya berjalan pada 28 Januari 2010 sekitar pukul 17.00. Dua mobil berpapasan dan dari belakang, suara klakson mobil Innova atau sejenisnya mengejutkan saya. Saya sedikit terhenyak dan untung tak secara spontan mengumpat, “Anjing!”

Pagi hari, di hari berikut sekitar pukul 09.15, saya menyeberangi Jalan Laksda Adi Sucipto melalui Zebra Penyeberangan; itu di pertigaan ke arah Kampus IV Atma Jaya. Saya berjalan dengan tergesa dan tetap saja ada mobil – mungkin Jazz kalau bukan Swift – warna silver membunyikan klakson. Saya sudah tidak terkejut.

“Mereka seperti bergegas, tapi mungkin sebenarnya tak bergegas. Mungkin beringas. Mereka menghambur di jalan-jalan dan memekikkan klakson,” gumam GM dalam Catatan Pinggir 16 Oktober 1982. Dia membandingkannya dengan Inggris. “Tuter mobil praktis tak pernah dipakai untuk mendesak-desak,” katanya. GM menafsir bahwa klakson adalah tanda kekuasaan dan kekuatan; juga bahwa bunyinya yang sering kita dengar – saya sekali waktu iseng menghitung klakson yang dibunyikan bus yang saya tumpangi dari Prambanan hingga Bendogantungan, Klaten atau sekitar jarak 15 km dan itu berjumlah 121 – mencerminkan kita ‘yang tak percaya bahwa waktu sebenarnya bisa kita kelola’.

Saya sebenarnya juga miris dengan perbandingan. Toh, itu terkadang memang harus dihadapi. Izinkan saya sekadar menceritakan apa yang saya dengar. Seorang kawan yang berada di Perancis, suatu ketika berjalan – karena belum tahu – melewati lintasan yang seharusnya tak boleh ada pejalan kaki. Itu khusus mobil dan di belakangnya memang ada mobil. Mobil itu, tanpa membunyikan klakson, terus berjalan di belakang kawan ini hingga ia kemudian tahu bahwa ia berjalan di tempat yang salah.

Saya tak ingin menutup cerita ini dengan perbandingan yang buruk. Di suatu sore, 22 Januari 2010, tak ada yang menjemput saya di Bendogantungan. Saya pun berjalan menuju rumah. Tanpa mengacungkan jempol seperti di dalam film-film, sebuah truk berhenti di samping saya. “Mau saya beri tumpangan, Mas?” katanya.

Di belantara kota, seorang pejalan kaki memang minoritas. Juga di desa-desa masa kini. Bedanya: kota tak ubahnya sebuah rimba dan desa itu tempat para manusia. Mungkin kesimpulan saya salah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline