Ditulis oleh : Amy Darajati Utomo
Tulisan ini akan membahas mengenai bagaimana Amerika Serikat (AS) menghadapi kebangkitan Tiongkok didasarkan pada tulisan Fareed Zakaria yang berjudul “The Challenger.” Kemudian akan dilanjutkan dengan asertifitas Tiongkok di arsitektur perekonomian dunia, melalui Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB), yang direspon AS melalui Trans-Pacific Partnership (TPP). Tulisan ini akan ditutup dengan kesimpulan bahwa AS lebih baik bekerja sama dengan Tiongkok dibandingkan menghalang-halangi inisiatif Tiongkok.
Ada tiga poin yang patut digarisbawahi dari tulisan Zakaria. Pertama, adalah mengenai perkembangan kebangkitan Tiongkok. Tiongkok dengan reformasi ekonominya telah berhasil menjadi cerita pembangunan paling sukses sepanjang sejarah. Rekor-rekor ditorehkan oleh Tiongkok: tingkat pertumbuhan tercepat dengan sembilan persen pertahun selama hampir tiga puluh tahun, dan angka penurunan kemiskinan terbesar sepanjang sejarah. Ini berhasil dicapai oleh Tiongkok setidaknya dikarenakan dua faktor: kapitalisme khas Tiongkok dan perencanaan tersentralisasi. Kapitalisme khas Tiongkok dicirikan dengan strategi grow-the-denominator. Tiongkok tidak langsung begitu saja menutup aspek-aspek yang merugi, tetapi menerapkan kebijakan yang mendorong ekonomi di sekitar aspek yang merugi tersebut sehingga perlahan-lahan bad areas become a smaller and smaller part of the overall economy (the denominator). Ini ditunjukkan dengan bagaimana Beijing membereskan masalah di sektor finansial sepuluh tahun setelah disarankan oleh expert. Sementara perencanaan tersentralisasi ini menjadi kesempatan sekaligus tantangan bagi Tiongkok. Kesempatan karena pemerintah Tiongkok bisa mengambil kebijakan jangka panjang yang tidak populer karena tidak harus terlalu khawatir dengan pemilu. Tetapi, ini juga menjadi tantangan seiring dorongan desentralisasi yang semakin menguat. [1]
Kedua, adalah mengenai kebijakan luar negeri Tiongkok, yang berbeda karena Tiongkok tidak begitu terpengaruh prinsip ketuhanan. Sepanjang sejarah, negara yang terpengaruh oleh agama seperti Kristen dan Islam memiliki semangat misionarisme, seperti terlihat dalam kebijakan AS. Ini berbeda dengan Tiongkok yang merasa bahwa hanya dengan menjadi Tiongkok, menjadi kekuatan utama dunia, akan memenuhi tujuan sejarahnya—it doesn’t need to spread anything to anyone to vindicate itself. Ini juga terlihat memengaruhi kebijakan luar negeri Tiongkok, dimana Tiongkok tidak melihat suatu isu dengan seperangkat nilai benar atau salah tetapi dengan kacamata praktikal. Kebijakan luar negeri Tiongkok di Afrika, misalnya berguna untuk menyokong kebutuhan sumber daya Tiongkok dan mengurangi pendukung Taiwan, meskipun Tiongkok pada prosesnya cenderung melestarikan rezim ditaktor di benua tersebut. Selain itu, di kawasan Asia, Tiongkok telah cenderung mengaplikasikan kebijakan yang kurang agresif, menekankan kepada kerjasama ekonomi untuk mendukung integrasi kawasan.[2]
Ketiga, terkait hubungan Tiongkok dengan AS. Tiongkok masih belum mampu menyaingi AS, tetapi Tiongkok telah menjadi negara kedua terpenting di dunia. Tiongkok masih memiliki banyak masalah domestik—seperti korupsi dan masalah lingkungan, yang bisa menghambatnya untuk bisa menyamai AS. Tiongkok pun menyadari hal tersebut, meskipun perlahan terdapat kesadaran bahwa Tiongkok bisa menyaingi AS di masa depan. Di AS sendiri selalu ada pihak yang menganggap Tiongkok sebagai ancaman bagi kepentingan nasional AS. Ini membuktikan bahwa ada tensi antara Tiongkok-AS. Meskipun begitu, mengingat bahwa kedua negara saling bergantung satu sama lain tensi ini harus ditekan dan keduanya harus bekerjasama. Tiongkok membutuhkan pasar AS, dan AS membutuhkan Tiongkok untuk mendanai hutangnya. Juga dengan mempertimbangkan arsenal nuklir kedua negara, perang akan menjadi Mutual Assured Destruction.[3] Zakaria meramalkan bahwa Tiongkok akan cenderung bertahan menjadi asymmetrical superpower. Tiongkok akan menggunakan kekuatan ekonomi dan politiknya untuk mencapai kepentingannya tanpa harus menggunakan kekuatan militer. Tujuan Tiongkok bukanlah konflik, tapi menghindari konflik, serta pengaruh yang lebih besar di tingkat internasional. Ini didasarkan dari pemikiran Sun Tzu, bahwa kemenangan sejati adalah dengan memanipulasi situasi sehingga hasilnya inevitably memihak Tiongkok. Ini juga terlihat dalam strategi grow the denominator, bagaimana Tiongkok dalam menghadapi suatu tantangan akan memilih untuk secara tenang dan perlahan, menunggu situasi memihak bagi Tiongkok. Tiongkok juga memiliki pendekatan berbeda dalam kebijakan luar negerinya. Bagi AS yang lebih terbiasa menghadapi konflik militer-politik tradisional, menghadapi Tiongkok adalah tantangan baru.[4]
Setelah membaca tulisan Zakaria tersebut, maka menarik untuk ditelaah bagaimana AS menghadapi tantangan Tiongkok. Tulisan ini selanjutnya akan melihat bagaimana Tiongkok dan AS saling berebut pengaruh di kawasan dalam aspek ekonomi, yaitu AIIB dan TPP.
AIIB vs TPP ?
Setidaknya terdapat dua alasan kenapa Tiongkok berinisiatif melalui AIIB: untuk mereformasi sistem finansial internasional, serta untuk membantu berkontribusi dalam pembangunan infrastruktur di Asia. [5] Reformasi sistem finansial internasional ini bisa ditilas balik kepada perubahan Tiongkok menjadi lebih asertif dibawah Xi Jinping. Zakaria memang menyebutkan mengenai kebijakan Deng Xiaoping yang pragmatis dan pasif, dan ini diubah oleh Xi. Tiongkok sepertinya sudah merasa cukup percaya diri akan kekuatannya, dan mendorong “tipe baru hubungan great power.”[6] Xi menuntut agar hubungan bilateral didasarkan kepada mutual respect karena selama ini Xi merasa bahwa terdapat respect deficit dari AS terhadap Tiongkok.[7] Tuntutan Xi agar Tiongkok diperlakukan setara ini juga dibarengi dengan sentimen Tiongkok yang merasa bahwa terdapat “unjust and improper arrangements in the global governance system”[8] yang ditunjukkan dengan rendahnya representasi negara berkembang harus segera direformasi. Tuntutan Tiongkok untuk mendapatkan suara lebih banyak di IMF dan ADB tidak kunjung dikabulkan oleh AS,[9] menyebabkan Tiongkok tidak sabar dan memilih untuk membuat sendiri sarana yang lebih mampu menampung aspirasinya. Sehingga, ramalan Zakaria bahwa Tiongkok akan mempertahankan posisi asimetrinya terbukti salah. Tiongkok tidak lagi ingin diperlakukan selain di posisi setara, dan Tiongkok merasa telah cukup kuat untuk menuntut hal tersebut. Selain itu, Tiongkok memang ingin membantu pembangunan infrastruktur kawasan. World Economic Forum pada tahun 2013 menyatakan bahwa dengan mengatasi masalah infrastruktur akan meningkatkan GDP dunia hingga enam kali. Meskipun memang niat Tiongkok memang tidak sepenuhnya altruistik, karena Tiongkok berharap bahwa proyek pembangunan infrastruktur tersebut akan dilakukan oleh perusahaan-perusahaan Tiongkok. [10]