Lihat ke Halaman Asli

UKM, Mata Rantai yang Terabaikan dalam MME ASEAN 2015

Diperbarui: 9 Desember 2015   14:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Masyarakat ekonomi ASEAN akan segera dilaksanakan pada tahun 2015 dan Indonesia, sebagaimana sering diberitakan, terlihat cemas menyongsong datangnya hari tersebut. Hal ini cukup beralasan karena di tengah riuh rendah polemik yang bermunculan, terdengar pernyataan-pernyataan yang meragukan daya saing produksi lokal untuk bersaing dengan produk-produk regional di kawasan

Kemampuan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) untuk dapat bertahan dalam laju globalisasi pasar telah menjadi perdebatan yang terus bergulir baik dalam lingkaran ruang publik maupun secara akademik. Mengamati bagaimana UKM berkembang menjadi bahasan penting terutama dalam konteks Indonesia karena UKM secara historis, dari dulu hingga sekarang, masih menjadi pemain kunci bagi perekonomian Indonesia. UKM di Indonesia meliputi 90% dari sektor ekonomi Indonesia di berbagai bidang dan menyediakan 90% lapangan kerja bagi keseluruhan angkatan kerja di Indonesia. Perkembangan lebih lanjut dari struktur ekonomi Indonesia yang bergerak dari model ekonomi tertutup menjadi lebih terbuka dalam dekade terakhir, menjadikan pembahasan atas UKM menjadi penting untuk mengembangkan UKM menjadi lebih kompetitif dalam pasar terbuka yang melaju seiring perkembangan globalisasi ekonomi.

Penerapan Pasar Tunggal ASEAN sebagai bagian dari skema Masyarakat Ekonomi ASEAN, selain memberikan peluang dalam menyediakan ruang untuk terjadinya ekspansi pasar bagi UKM dalam negeri, juga memberikan tantangan yang serius bagi UKM domestik. Adanya Pasar Tunggal ASEAN menjadikan persaingan semakin meluas dengan turut menghadapkan korporasi asing dan UKM regional.

Negara-negara di kawasan ASEAN sangat bergantung pada UKM dalam struktur ekonominya dan menunjukkan bagaimana UKM di hampir sebagian besar negara-negara ASEAN menjadi sektor yang menyediakan banyak lapangan pekerjaan. Persentase UKM dalam struktur perekonomian negara-negara di ASEAN bervariasi dengan nilai 84% hingga 98%, menyediakan 39% hingga 92% persentase lapangan pekerjaan (labor force). Hal ini menunjukkan pentingnya UKM dalam komposisi struktur ekonomi di kawasan. Dengan demikian, UKM-UKM regional akan saling berkompetisi untuk merebut peluang yang muncul melalui penerapan Pasar Tunggal ASEAN. Sehingga, persaingan yang sengit dalam proses pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN tidak hanya dialami di sektor-sektor industri besar, melainkan justru penuh dengan riuh rendah dari sektor UKM. Meningkatkan daya saing UKM domestik untuk dapat bersaing dengan korporasi asing dan UKM regional menjadi kebutuhan pokok dalam mensukseskan perhelatan Pasar Tunggal ASEAN bagi Indonesia.

Kompetisi yang terjadi di antara UKM-UKM regional tersebut disebabkan karena produk unggulan pada kawasan intra-ASEAN tidak bersifat saling komplementer. Sifat produk unggulan di kawasan cenderung bersifat homogen sehingga menciptakan iklim kompetisi dalam pasar. Ketika tariff barrier diturunkan hingga mencapai 0% dengan diiringi non-tariff barrier dihilangkan, produk-produk impor baik berasal dari korporasi asing maupun UKM regional dapat membanjiri pasar dalam negeri apabila daya saing UKM domestik lebih rendah.

Dalam menghadapi Pasar Tunggal ASEAN, dinamika perekonomian domestik Indonesia patut mendapatkan catatan tersendiri. Indeks daya saing Indonesia merupakan indeks terendah di kelompok negara ASEAN Five.

Perhatian pemerintah Indonesia dalam menghadapi Pasar Tunggal ASEAN masih difokuskan pada kalangan korporasi dan usaha besar. Sementara ancaman membanjirnya impor produk dan jasa dapat langsung mempengaruhi sektor UKM dan sektor usaha informal yang selama ini mengandalkan pasar domestik sebagai target pemasaran.

Ketika negara-negara ASEAN Five terus mengembangkan UKM-UKM mereka menjadi UKM unggulan di ASEAN, pemerintah Indonesia belum mengindikasikan adanya usaha yang lebih serius untuk menemukan pendekatan dan strategi yang tepat dalam mengembangkan UKM domestik. Di Thailand, UKM mendapatkan peran istimewa sebagai mesin pertumbuhan ekonomi Thailand dan dikembangkan melalui SMEs Master Plan pada tahun 2000 melalui strategi dan pendekatan OTOP (One Tambun/ Village One Product) yang menggerakkan sektor industri kreatif. Usaha untuk mengembangkan UKM juga dilakukan dengan memberlakukan Thailand SME Promotion Law.

Di Malaysia, UKM domestik juga dikembangkan dengan perumusan strategi dan pendekatan khusus. Pemerintah Malaysia merumuskan apa yang disebut dengan SME Development Blueprint pada tahun 2006 dan mendirikan SME Bank sebagai wadah finansial bagi modal pembiayaan pengembangan UKM domestiknya. UKM di Malaysia dikembangkan dengan menyasar sektor makanan halal dan membentuk diri sebagai bagian dari ‘global halal hub’ di dunia. Di Indonesia, cetak biru maupun masterplan bagi pengembangan UKM dalam negeri belum terumuskan. Institusi-institusi penunjang untuk meningkatkan daya saing UKM juga belum terbentuk mengiringinya. Dengan keadaan yang demikian, tidak heran jika kecemasan menghadapi Pasar Tunggal ASEAN menghampiri kita semua, utamanya lagi bagi pemilik UKM-UKM di seantero negara ini.

Pengabaian ini cukup disayangkan karena UKM memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia, terutama dalam memberikan kontribusi yang besar bagi PDB. Pada tahun 2010, kontribusi UKM terhadap PDB adalah sebesar 57,12%. Kemudian pada tahun 2011, kontribusi UKM terhadap PDB meningkat cukup signifikan menjadi 57,94% dari total PDB nasional. Selain berkontribusi pada peningkatan PDB nasional, UKM juga memberikan kontribusi terhadap nilai ekspor non migas dan penyerapan tenaga kerja. Pada tahun 2010, UKM berkontribusi sebesar 15,81% dari total nilai ekspor non-migas, dan menyerap 97,22% tenaga kerja. Sedangkan pada tahun 2011 UKM Indonesia memberikan kontribusi sebesar 16,44% dari total nilai ekspor non-migas dan menyerap 97,24% tenaga kerja.

Di tengah ingar bingar bergulirnya wacana MEA sebagai pendorong dari kegiatan bisnis dan peluang usaha bagi bisnis-bisnis besar di kawasan, jangan kita lupakan bahwa di setiap pucuk-pucuk kebijakan, jiwa dari setiap hal tersebut adalah masyarakat kebanyakan (people) yang hidup sehari-hari. MEA seharusnya tidak hanya menjadi momentum untuk membuat lebih perkasa bisnis-bisnis besar, melainkan juga dapat semestinya menjadi pijakan untuk memberdayakan pelaku UKM dalam kerangka yang lebih besar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline