Ba'da maghrib malam Ahad kemarin, Imam sholat Ustadz Muzakkar atau UJ mengumumkan ada seseorang bernama Alex, mualaf meninggal dunia. Saat itu jenazah masih di rumah sakit, rencana dimandikan disana dan diumumkan pada para jamaah agar seusai sholat isya' tidak langsung pulang untuk bersama-sama mensholatkan dan menguburkannya.
Inna lillahi wainna ilaihi raji'un. Begitulah akhir kehidupan seorang manusia, kapanpun bisa diambil kembali nyawanya oleh Yang Kuasa. Siapa pak Alex? semua jamaah tidak ada yang kenal. Orang mana, tinggal dimana tidak ada yang faham. Jamaah asal Penfui, Naimata, Baumata, Liliba tidak ada yang tahu.
Hanya, sebagai saudara sesama, hal-hal tak terduga terkait kematian wajar menjadi permahfuman. Sebuah kewajaran, naluri nurani tergerak membantu sang jasad menuju pembaringan terakhir. Di haribaan bumi. Menyatu dengan tanah. Siapa lagi selain yang masih hidup? Tanpa perdebatan.
Peristiwa kematian bukan hal istimewa. Bahkan tidak perlu ditangisi jika akal menyadari. Semua menunggu giliran untuk meninggalkan kehidupan. Divisi kematian sudah terbiasa, antara Maghrib - Isya, sudah terdelegasi tim di area pemakaman, di rumah sakit dan jamaah yang di masjid.
Sebelum 19.00, saat menjelang iqomah Isya, di parkiran masjid pak Yayan menderu dengan motornya, yang ditumpangi tumpukan papan kayu, kayu nisan, berseru mengingatkan,
"Pak Ali, jamaah jangan buyar tunggu sampai jenazah datang. Saya langsung menuju pekuburan"
"Oke, siip. Siapp !!!"
Tanpa diminta pun, jamaah sudah bersiap. Tetapi dengan diingatkan menjadi bentuk komunikasi efektif bahwa kerjasama sangat diperlukan dalam situasi darurat.
Tanah lahat di kegelapan tadi malam agak lengket dan liat. Hujan lebat selama 2 hari, di beberapa hari lewat membuat bulir tanah, kerikil dan bebatuan merapat, memadat dan memberat.