Assalamu'alaikum Wr Wb
Para pembaca yang budiman,
Alhamdulillah program Tebar Hikmah Ramadan (THR) Kompasiana memberi kesempatan diri saya menjadi pemateri di akhir minggu ke-3 dengan topik "Siraman rohani ala kamu". Saya sedikit risau, saya bukan ustadz apalagi ulama. Bukan pula sosok yang berkompeten dalam ranah dakwah. Terbesit kata, jangan-jangan saya ini dikerjai. Nah, batin saya mulai ikut-ikutan menilai.
Begitulah. Saya hanyalah seorang hamba. Hamba Allah yang bergelimang dosa. Bukankah kita manusia biasa tidak terlepas dari dosa. Gejala ini terdapat dalam setiap pribadi manusia. Saya kutip sabda Nabi SAW, "semua anak cucu Adam adalah pembuat kesalahan, dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan ialah mereka bertobat". Dalam bahasa Latin ada kalimat hikmah, "Erar humanum est" (Manusia adalah pembuat kesalahan). Tidak ada seorang manusia pun yang senang berbuat dosa. Lancar saya mengungkapkan hal tersebut. Ini puasa, kalau tidak jujur batal puasa saya.
Ini tugas berat yang saya kerjakan. Sejauh perjalanan hidup ini, diri ini hampir tidak pernah menyampaikan siraman rohani ke orang lain. Tanya ke orang-orang NTT, mereka tak akan kenal saya. Tapi jangan bertanya siraman ke bunga-bunga di pekarangan atau kucing nakal yang bikin keributan. Itu mah, hampir tiap hari.
Ini tugas menjadi bertambah berat. Jika siraman yang disampaikan harus menyejukkan dan menyegarkan. Saya orangnya panasan, gampang dikompori. Ketika baca situasi antrian calon penumpang berjubel tanpa social distancing di bandara, sambil membayangkan perasaan tenaga medis yang mengangkat tulisan,"Indonesia? Terserah...", seketika gumpalan otak di kepala saya yang botak, tumbuh begitu banyak argumentasi yang berpilin-pilin liar melintas jembatan neuron. Syukur-syukur kalau yang tumbuh rambut hitam ikal berombak. Alhamdulillah saya tak kelepasan memaki. Saya hanya meretweet saja sekali. Saya ingat sedang berpuasa.
Ini tugas menjadi semakin bertambah berat. Karena selain menyejukkan dan menyegarkan, harus mampu menyentuh entitas paling penting di diri manusia, rohani. Saya ringan mengucap dan menuliskannya. Tapi sejauh mana saya mengenal dan memahami rohani? Menyentuh rohani itu butuh pengembaraan batin yang dalam. Tidak bisa dilakukan oleh pribadi yang tidak sabaran. Selama wabah covid sudah tak pernah ke masjid saja seperti "Rindu Dendam"nya J.E. Tatengkeng merangkai untaian puisi. Belum meresapi. Belum memaknai. Apalagi implementasi.
Tapi kalau tidak dipaksa begini, kapan pernah belajar? Belajar menahan diri, memahami ordinat diri dan mencuplik mutiara yang mungkin bisa memberi manfaat walau secuil pada sesama.
Para pembaca yang dimuliakan Allah,
Puasa selalu menyenangkan dan berkesan. Kemanusiaan kita akan diuji makna harfiah "shiym" atau "shawm", menahan diri. Budi pekerti yang luhur selamanya menuntut kemampuan seorang pribadi untuk menahan diri dari dorongan yang tidak benar. Setiap tindakan yang hanya mementingkan diri sendiri tentu akan berlawanan dengan nilai budi luhur atau akhlak mulia.