Di saat wabah covid19 seperti ini, di tengah menjalankan ibadah puasa Ramadan, tempat yang paling umat muslim rindukan adalah Masjid. Karakteristik perilaku corona menjadi biang jauhnya umat dari Masjid, karena interaksi tak berjarak manusia menjadi sangat beresiko. Apalagi dipekan ini kasus terkonfirmasi positif menembus angka 10.000.
Mengapa dirindukan? Masjid merupakan sebuah pranata terpenting bagi masyarakat dan peradaban Islam sebagaimana jaman Rasulullah SAW di Madinah. Tempat segala kegiatan demi kemaslahatan umat, bangsa dan negara. Namun sayang di masa kini tidak semua masjid mampu menterjemahkan fungsinya tersebut. Masjid menjadi bermakna sempit, dengan aktivitas sedikit.
Sekedar tempat ibadah mahdhah seperti sholat dan mengaji, atau ramai di hari besar Islam sarat seremoni. Berbagai kegiatan yang bisa memperkuat umat atau ibadah ghairu mahdhah, yaitu ibadah interaksi sosial ekonomi masyarakat tak tersentuh. Sehingga sebelum wabah covid19 pun masjid seperti ini kehilangan jati diri.
3 Masjid di Kota Jogjakarta ini saya kunjungi dalam tempo 1 hari di tanggal 26 November 2019 berurutan waktu dzuhur di masjid UGM, ashar di masjid Jogokariyan dan maghrib-isya di masjid Siti Djirzanah. Saya memang sudah berencana di 2 masjid pertama sebelum menginjak Jogja, tapi masjid Siti Djirzanah adalah rejeki saya dapat bersila berlama-lama. Yang menarik dari ketiga masjid ini bukan karena kentalnya aspek sejarah. Bukan pula arsitektur bangunannya yang megah dengan ornamen yang indah. Saya lebih tertarik pada keberadaannya yang dirindukan umat karena sarat manfaat. Kehadirannya begitu terbuka, menyentuh dan hadir utuh di tengah-tengah representasi jamaah. Masjid UGM representasi masjid akademik, masjid Jogokariyan representasi masjid kampung dan masjid Siti Djirzanah representasi masjid wisata.
Dzuhur di Masjid UGM
Selesai satu acara di pagi hari, menjelang dzuhur dari kawasan monumen Jogja Kembali, saya diantar ojek online meluncur ke masjid UGM. Masuk lewat gerbang timur. Melalui tangga berundak-undak saya mendekat. Di tengah terik dan silau cahaya matahari, kemegahan gapura tak tertandingi. Semua orang sepakat ini masjid kampus yang keren. Diberitakan bahkan masjid termegah seAsia Tenggara. Saya sudah menikmatinya saat tugas belajar sekitar awal tahun 2000-an.
Arsitektur Jawa dipadu Timur Tengah. Dekorasi keemasan Korea berpadu marmer Tulungagung membuatnya tampak anggun sekaligus agung. Sebuah kebanggaan bagi UGM dan Jogja, karena berdirinya masjid ini atas inisiatif mahasiswa yang tergabung di Jamaah Shalahuddin. Harus diakui generasi muda lebih memiliki sikap baja ketika memperjuangkan ide-idenya. Saat ada kesempatan ke Jogja, masjid ini menjadi satu tujuan yang tak boleh terlewatkan.
Dengan konsep terbuka, kegiatan apapun bisa dilakukan di masjid ini. Jamaah tak pernah sepi. Ketika adzan berkumandang para mahasiswa dari berbagai arah datang mendekat. Duduk melepas sepatu, bergantian ambil wudlu. Masjid yang mampu menampung 5000 jamaah ini sudah menjadi rumah bagi mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah. Seluruh Indonesia.
Dibalik itu yang terpuji adalah makmurnya masjid ini dengan aktivitasnya yang tiada henti. Dari sekedar sholat, mengaji, berdiskusi, bahkan bersantai. Di setiap waktu jamaah serasa tak habis-habis jamaah datang bergelombang. Saya menikmati dengan berselonjot kaki. Memang siang hari saat jam kantor dan kuliah istirahat. Ratusan jamaah sehabis sholat pun meluruskan badan selonjoran tanpa ada yang melarang. Sebagian ada yang duduk melingkar berdiskusi, disisi lain ada yang melihat-lihat jejeran buku. Saya menikmatinya. Yang khas lagi adalah gentong wudlunya yang berjejer tenang di bawah pepohonan nan rindang.
Gentong wudlu lekat dengan kultur Jawa yang memiliki makna tempat menampung atau wadah keilmuan yang tak terbatas dan secara rutin dibagikan, disebarkan sebagai responsibiltas pada kemaslahatan umat.