Seusai subuh di Ramadan hari ke-4 aku menulis di depan laptop ditemani lagu-lagu Maher Zain. Otakku berlogika merangkai kata. Untaian syukur meniti usia. Tak terasa, ada tetesan sejuk bergulir di sudut mata.
Ya Allah, aku cengeng ya? Tidak. Aku lelaki perkasa. Sudah paruh baya. Istri satu dan anak tiga. Itu bukan tangisan karena tanpa isakan. Hanya sedikit haru terbawa suasana. Terbuai alunan puja-puji pada Illahi. Trimakasih ya Allah, Maha Baik. Alhamdulillah. Aku lupa kapan meneteskan air mata terakhir kali.
Hilalmu datang di rembang petang
Kusambut riang dg tangan terentang
Bungah membuncah ucap hamdallah
Ahlan wa sahlan, Marhaban
Ahlan wa sahlan, ya Ramadan
Keluargaku tinggal di Kota Kupang NTT. Walau umat muslim minoritas disini, tapi kehidupan begitu damai. Bersama umat agama lain, saling menghormati. Hal yang mungkin tidak pernah dibayangkan dan tidak pernah dirasakan oleh orang-orang yang terbiasa hidup bersama di tengah sesama seagama. Dalam toleransi semua terbiasa menahan diri.
Biasanya, di malam bulan Ramadan begitu nikmat. Menjelang Isya berbondong-bondong umat Islam menuju masjid. Anak-anak kecil ramai berkejaran. Para bapak, para ibu saling sapa dan berbincang dengan riang. Mendengarkan tausiyah ulama dan taraweh berjamaah. Momen langka karena di hari biasa jarang berjumpa. Di malam Ramadan semua lebih bersahabat, semua jadi kerabat.
Tapi, Ramadan tahun ini terasa berbeda. Azan 5 waktu dari satu-satunya masjid sejauh 1 km itu terdengar menyapa. Hanya sebagai mengingat. Gerbang pagar sudah diikat. Wabah corona yang melanda, telah mereduksi gebyar Ramadan yang meriah menjadi ibadah kecil di rumah-rumah. Tidak hanya kita, tetangga umat Nasrani sebelah rumah. Juga ibadah Paskah di rumah.
Kerja di rumah, belajar di rumah dan ibadah di rumah. Walau sunyi dalam ritme, tapi lebih syahdu dan harmoni. Yang biasanya sejak pagi berjumpalitan keluar rumah. Kini ruang gerak tak lebih dari tiga puluh langkah. Sederhana tak merepotkan. Tak gempita tapi lebih bermakna. Walau bersepi dalam ritual, terasa lebih dalam makna spiritual.
Ramadhan 1441, teguhkan hati
Inginnya jadi insan yg tahu diri,
Tidak lagi abaikan kebenaran hakiki
Sucikan dr dosa, khilaf dan salah
Di bulan Maghfirah, tabur mutiara hikmah
Asa diri tak terlepas dari keinginan pribadi yang ingin dicapai. Banyak hal yang ingin diraih dalam hidup ini. Di tengah wabah corona yang penyebarannya sedang menuju puncaknya, tidaklah elok asa diri berpotensi menyakiti dan merugikan orang lain. Termasuk rencana mudik bersilaturahim dan sungkem dengan orangtua. Walau tiket balik terbeli, akhirnya tak jua pergi. Rencana dan kuasa Allah lebih baik dari rencana manusia. Saat ikhlas semua ringan. Tidak berat. Hanya rindu yang berat. Anak istri faham. Insya Allah semua mengerti dan penuh kesadaran. Dan, di suasana Ramadan, asa diri mestinya lebih berfokus pada pengendalian diri demi kemaslahatan umat dan masyarakat Indonesia.
Asa diri ini tak muluk berkibar. Tidak lagi mengejar segala sesuatu dengan berkoar. Alhamdulillah bisa tetap ibadah, ada kelebihan rejeki berusaha sedekah. Asa di tengah wabah corona, adalah do'a untuk seluruh umat manusia. Asa yang tertanam di kalbu setiap manusia. Semoga wabah segera sirna, dunia kembali berseri alami, yang masih sehat tetap disehatkan untuk mampu berbagi dengan sesama, yang sakit segera sehat, yang berduka ditinggal sanak saudara bisa sabar dan tetap semangat. Yang diputus kerja semoga diganti dengan rejeki tak terduga, yang jomblo segera berpasangan, dan yang utama di bulan Ramadan adalah semoga kita semua diangkat derajatnya menjadi orang-orang yang bertaqwa. Aamiin Ya Robbal Aalamin.
Seusai Imsak, Sehabis subuh
Perbanyak amaliah dg berhaus lapar
Tundukkan keinsyafan dalam dalam
Rengkuh Rahmat Illahi
Jadi insan Rabbani.
alifis@corner
27 April 2020 23:11 WITA