Lihat ke Halaman Asli

Apakah Penutupan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Indonesia Merupakan Tindakan Kriminalisasi Pendidikan?

Diperbarui: 15 Agustus 2024   20:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://aktual.kontan.co.id/news/simak-10-universitas-swasta-terbaik-di-jakarta-tahun-2023-ada-bina-nusantara

Penutupan perguruan tinggi swasta (PTS) oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) di Indonesia telah menimbulkan berbagai reaksi, termasuk tuduhan pelanggaran konstitusi. Berikut beberapa analisis yang dapat menjadi bagian kajian, sharing, diskusi antar lembaga dalam menyikapi permasalahan tersebut. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek), harus melakukan sharing dan dengar pendapat bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam menyikapi permasalahan penutupan setiap Perguruan Tinggi Swasta di Indonesia, mengingat dasar hukum konstitusi penyelenggaran pendidikan adalah UUD 1945 dan Pancasila sebagai sumber konstitusi idiologis.

 

Dalam pelaksanaan Penutupan Perguruan Tinggi di Indonesia, khususnya Perguruan Tinggi Swasta (PTS) oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) menggunakan dasar hukum penutupan PTS melalui Permendikbud Nomor 7 Tahun 2020, yang didasari oleh suatu evaluasi dan kebijakan yang bermuara pada suatu keputusan pelanggaran berat, dimana faktor alasan penutupan dilakukan karena alasan jual beli ijazah, pembelajaran fiktif, dan penyalahgunaan dana beasiswa, yang dianggap merusak integritas pendidikan tinggi di Indonesia.

Mencermati sikap dan kebijakan penutupan PTS yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) dapat dibenarkan jika hanya merujuk/didasarkan pada Permedikbud Nomor 7 Tahun 2020 dengan alasan-alasan ataupun argumen yang dijelaskan tersebut. Namun jika dilakukan kajian atau analisis secara komprehensif maka kebijakan Kemendikbud-Ristek tersebut belum/tidak bisa dibenarkan 100%, mengingat banyak faktor yang merugikan setiap institusi PTS (baik itu terkait dengan seluruh dosen, tenaga kependidikandan/karyawan dan mahasiswa yang merupakan civitas akademika), serta merupakan pelanggaran terhadap UUD 1945 sebagai konstitusi negara yang mengamanatkan tentang mencerdasakan kehidupan bangsa. Kedua, seharusnya bukan institusi atau PTS yang ditutup atau dicabut izin operasionalnya, melainkan pimpinan PTS yang harus diberikan sanksi hukum, dan Kemendikbud-Ristek harus melakukan pembinaan/pengawasan/pemeriksaan secara menyeluruh terhadap setiap kebijakan pada PTS yang terkait, serta menginstruksikan kepada Badan Penyelenggara Pendidikan (Yayasan) untuk melakukan perubahan struktur manajamen PTS secara totalitas, sebagai upaya dari pelaksanaan Tutwuri Handayani sebagaimana diamanatkan oleh para founding fathers/mothers pendidikan sesuai dengan falsafah Pancasila.

Sudah saatnya bagi Kemendikbud-Ristek untuk menjaga marwah dan martabat pendidikan Indonesia yang diamanatkan dalam UUD 1945 dan sesuai falsafah dasar negara Pancasila, dalam mengevaluasi dan memperbaiki kebijakan/regulasi yang telah terjadi dengan upaya mengembalikan/mengaktifkan kembali PTS yang telah ditutup, sehingga tidak menimbulkan kegaduhan pendidikan yang merugikam keberlangsungan edukasi dan pencerdasan bangsa secara suistaenable. Secara keseluruhan, meskipun Kemendikbud-Ristek memiliki kewenangan dalam  penutupan PTS, proses ini harus dilakukan dengan transparan, terukur dan adil untuk menghindari Tindakan Kriminalisasi Pendidikan Tinggi.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline