Lihat ke Halaman Asli

Irwanto

Social Engineering pengelolaan sampah

Manusia dan Mesin di Musim Panen Padi

Diperbarui: 19 Maret 2021   23:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Brebes Senin 8 Maret 2021  musim panen padi mulai merata di setiap petak sawah di wilayah Brebes termasuk di Dukuh  Temukerep kecamatan Larangan  yang kian hari kian meluas hingga berjarak puluhan kilo dari pemukiman warga bahkan sampai tulisan ini di terbitkan masih banyak warga yang sedang memanen padinya jalan yang becek bila di guyur hujan tidak membuat surut semangat para petani untuk memanen padi baik itu milik sendiri atau milik tetangga dengan sistem pembagian hasil panen dengan metode 4:1, 5:1-6:1  yaitu hitungan takaran 5/4 untuk pemilik padi atau sawah ,1 untuk si pemanen padi itu.

Bahkan di tempat lain seperti Desa Tegalgandu kecamatan Wanasari ada yang diberi uang rokok dan di kasih makan. hitungan metode ini sudah lama di lakukan turun-temurun dan hitungan 4:1-5:1 sudah lumrah di tahun ini walau dulu pernah dengan hitungan 7:1-8:1 yah,,,! 

Itu terjadi sekitar 20-30 tahun yang lalu ketika saya masih kecil dan peminat Derep (Bahasa Jawa) atau potong padi  dan tidak terpaut jauh sebelum dari masa itu ada sebuah alat untuk memetik padi yang di sebut Ani-ani yang sering dipakai untuk memotong padi yang sangat banyak digunakan oleh Orang Tua jaman dulu dan belum ramai istilah merantau.

Musim padi tahun ini tidak terlihat tengkulak atau  Juragan padi yang berseliweran untuk membeli padi baik saat masih berdiri tertanam di sawah maupun saat dalam proses penjemuran untuk di keringkan, dulu biasanya pada saat musim panen seperti sekerang ini banyak bakul berseliweran untuk membeli padi saat masih di tanam sehingga para petani Lajo ( Bahasa Jawa )  atau petani yang tidak punya sawah ikut memanen padi milik Juragan tersebut dengan metode hitungan yang tidak jauh berbeda.

Tradisi yang Hilang

Dahulu Lajo sering dilakukan beramai-ramai 5-10 Orang berkerumun di suatu tempat yang teduh di bawah pohon sambil bersenda gurau bersama bahkan saling berbagi makanan 1 sama lainnya sambil bercerita tentang masa lalu atau bercerita tentang silsilah keturunan keluarganya sampai-sampai menemukan saudara baru bahwa masih ada garis keturunan keluarga baik secara vertikal maupun horizontal.

Ya itulah yang dilakukan di saat menanti pemilik sawah atau juragan untuk menyuruh memanen padi miliknya,Yang tidak kalah menyenangkan pada masa itu iyalah tradisi syukuran  atas panennya padi itu oleh si pemilik padi dengan cara membawa tumpeng atau nasi liwet lengkap dengan Sambal goreng ( Oreg tempe ), Urab, Tempe dan Tahu bahkan ayam bakar utuh untuk di makan ramai-ramai dengan para tukang Lajo dan pemiliknya, biasanya sebelum di makan ramai-ramai si pemilik padi itu membawa makanan itu berputar mengelilingi sawahnya yang akan di panen sambil berucap doa syukur atas hasil panennya kepada yang MAHA KUASA baru di makan ramai-ramai.

Mesin Kombet mulai masuk ke sawah

Pembangunan jalan untuk kereta uap pada masa penjajahan Belanda untuk mengeruk hasil bumi  Pertiwi Negara  Republik Indonesia Serikat ( NIS ) atau dalam basa Belanda "Verenjgde States Van Indonesie" atau dalam bahasa Inggris  "Republic Of The United Setates Of Indonesia" 1949  menyisakan bekas jalan kereta uap atau Listring yang kini jalur keretanya  sudah tidak ada dan hanya menyisakan  bekas jalanan besar ( Listring ) yang panjang dan kini di manfaatkan warga untuk prasarana  transportasi  penghubung untuk kebutuhan pertanian dengan menggunakan sepeda dan sepeda motor, selain dimanfaatkan bagi petani dengan sepeda juga dimanfaatkan untuk jalannya mesin pemanen Padi  Kombet sampai masuk  jauh di tengah-tengah sawah memanen padi milik warga

Dengan masuknya mesin ini di persawahan  tenaga manusia atau Tukang Lajo sudah tergantikan oleh mesin dan tradisi kearifan lokal  sudah mulai hilang tergerus oleh kemudahan dan kepraktisan dalam memanen Padi di sawah  sehingga suasana keakraban dan kehangatan senda gurau sudah berkurang tak seperti dahulu lagi  bahkan  tidak sedikit rasa kecewa itu muncul di antara  petani " mengapa menggunakan Kombet padahal masih punya tetangga yang butuh makan".

Ya itulah yang umumnya di ucapkan oleh orang yang tidak punya sawah atau tukang Lajo. Tetapi tidak sedikit juga yang tidak menggunakan Kombet tersebut walaupun letak sawahnya di pinggir Listring karena berprinsip biar proses panennya lama yang penting tetangga bisa makan atau dalam bahasa Jawa " Akeh setitik bareng mangan"  ( Banyak sedikit bareng-bareng makan) prinsip guyub rukun  sangat dijunjung tinggi demi kebersamaan dalam bermasyarakat dan bertetangga sehingga rasa welas asih dapat dipertahankan menjaga kesenjangan sosial di tengah-tengah masyarakat tanpa harus menolak atas modernisasi atau kemajuan teknologi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline