Lihat ke Halaman Asli

Jalanan

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Beberapa hari lalu saya pergi ke salah satu Bioskop di Jakarta menyaksikan film dokumenter yang mungkin untuk pertama kali nya saya menyakisikan film dokumenter yang di putar di bioskop. Meski hanya 3 bioskop yang menayangkan film dokumenter ini ( XX1 Blokm square, XX1 Plaza senayan dan Grand Indonesia ). film ini di sutradarai oleh Daniel Ziv, ia berasal dari kanada dan sudah 14 tahun tinggal di Indonesia. Film ini berjudul “JALANAN”. Sebelum film ini di putar di bioskop Indonesia. Film ini telah terbelih dahulu meraih penghargaan,”Best documentary at Busan festival”. Yang di selengarakan di korea selatan pada tahun 2013 lalu.

Yang menarik perhatian saya untuk menyaksikan film tersebut adalah proses pembuatan dan perjalanan untuk dapat menyelesaikannya. Daniel membutuhkan waktu yang cukup lama, kurang lebih 6 tahun. Yang tak kalah menarik perhatian saya bahwa sang director sendiri bukan berasal dari Indonesia dan tidak ada sama sekali keterkaitan gen dan ras dengan Republik ini. Daniel sendiri dalam acara ‘Kick andy’ memaparkan sudah 14 tahun tinggal di Indonesia dan telah jatuh cinta dengan Ibu kota ini (Jakarta). Dia menjelsakan alasan pembuatan film ini untuk melihat sisi lain Indonesia dari sudut pandang yang ia alami selama tinggal di Indonesia. Banyak orang luar yang sering mempersepsikan Indonesia hanya sebagai negara yang terkenal dengan eksotisme keindahan alam dan budaya, Daniel ingin menunjukan bahwa ada sisi lain bagian negara yang luput dari perhatian, baik dari masyarakat luar Indonesia maupun masyarakat Indonesia sendiri.

Film ini di perankan tiga toko utama: HO, TITI dan BONI. film ini di mulai dengan boni, ia bercerita bagaimana sudah mulai tinggal di jalanan pada umur 8 tahun, dan boni sendiri telah memeliki istri dan beberapa anak. Ia tinggal di bawah kolong jembatan dengan istri dan anak-anaknya. Sebuah tempat tinggal yang jauh dari layak, namun boni menyebut tempat itu sebagai persinggahan dengan suara bising banyak kendaraan ia merasa damai dan bahagia. dalam film itu tergambar ada berbagai macam peralatan rumah yang saya tidak menyangka bisa berada di sana seperti , kompor untuk memasak bak mandi bahkan televisi. Ada yang menarik dari boni ketika ia pergi ke salah satu mall besar di Jakarta. Di dalam Toilet ia mengungkapkan bermacam-macam orang, baik orang miskin, kaya maupun orang asing yang membuang kotoranya disana dan bertumpuk dalam 1 tempat. “kotorannya mau gabung, manusianya egak mau gabung”. Ungkap boni dengan tertawa.

Berbeda dengan boni, HO yang termasuk sahabat boni ini agak nyentrik penampilan dan sedikit nakal tingkah lakunya. Namun apa adanya HO ini menjadi perhatian tersendiri bagai saya. HO tergambarkan sebagai seniman yang terpinggirkan, HO menceritkan betapa ia mencintai negri ini, bahkan ia tak peduli negeri ini peduli apa tidak terhadap diri nya. Dalam film ini betapa HO begitu emosional terhadap pemerintah dan pejabat – pejabat negeri ini yang sering korup dan memetingkan kepentingan sendiri. Ini terlihat dalam lirik yang ia nyanyikan sewaktu mengamen: “pok ame ame belalang kupu-kupu, gantung yang korupsi sekalian di berantasi”. Banyak ungkapan maupun tingkah laku HO yang menjadi tamparan buat saya akan memaknai hidup ini. Selayaknya manusia, sisi nakal HO juga tergambarkan dalam film ini, ketika ia sedang berbincang dan berusaha merayu seorang PSK.

Dalam perjalanannya HO akhirnya menemukan wanita yang ia cintai, meski wanita tersebut sudah memiliki anak. Tidak menghalangi cinta HO. Cara HO untuk mendapatkan wanita idamannya cukup unik, yang pada akhirnya dapat HO nikahi. HO sangat jujur dengan apa yang dia miliki dan dia mampu di hadapan wanita itu. Dengan keseriusan yang diyakini HO justru menutupi banyak kekurangan yang ia miliki.

Satu lagi pemeran film ini, TITI seorang wanita yang berasal dari ngawi jawa timur ini Awalnya ke Jakarta karena  orang tua titi tidak mampu membiayai titi melanjutkan sekolahnya. Orang tua titi hanya mampu membiayai kakaknya yang berprestasi di sekolah dan mengorbankan titi untuk berhenti bersekolah. Titi yang sedikit kecewa akhirnya memilih ikut tetangganya untuk ke Jakarta, meski tanpa bekal untuk bekerja dan hidup di Jakarta, titi nekat memilih bertaruh di Jakarta dengan umur titi yang masih di bawah umur untuk seorang pekerja. Pada saat itu titi baru berusaia 14 tahun. Kecintaan titi akan bermusik menjadikan ia penyanyi jalanan yang mengharapkan penghasilan lewat bermusik nya didalam bus kota dihadapan para penumpang. Titi yang sudah memiliki 4 orang anak ini, meski tidak semua anak tinggal bersamanya. Namun perhatian dan tanggung jawab titi sebagai orang tua tidak ia lupakan. Meski berat beban yang ia jalani sebagai penyanyi jalanan. Kasih sayang titi dan perjuanganya untuk anak ia ungkapkan, ia berharap anak-anaknya kelak bisa lebih baik dari ia untuk tidak menjadi penyanyi jalanan seperti titi. Titi menggambarkan betapa buruknya pemerintah, mahalnya biaya hidup dan biaya pendidikan menjadikan banyak anak terpaksa berhenti sekolah dan pada akhirnya memilih bekerja. Entah berapa banyak lagi anak Indonesia yang bernasip sama seperti titi.

Secara kesesluruhan film ini di buat dengan sedemikian apa adanya, proses yang memakan waktu kurang lebih 7 tahun ini betapa Daniel ingin menunjukan hal-hal yang kecil yang terlupakan dan terabaikan oleh kita semua. Kejujuran dalam film ini menjadikan nilai besar film ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline