Beberapa waktu lalu saya membaca artikel tentang mahasiswi Indonesia yang membintangi mini drama korea berjudul “Lunch Box”. Saya yang penasaran segera mencarinya di YouTube dan akhirnya ketemu. Bercerita tentang seorang mahasiswi cantik asal Indonesia yang selalu membawa bekal makan siang ke kampus agar terjamin kehalalannya. Singkat cerita mahasiswi ini ditaksir oleh seorang chef tampan asal Korea Selatan. Didorong rasa cintanya itulah chef ini belajar apa itu masakan Indonesia yang halal. Sampai pada bagian akhir drama ternyata saya baru sadar kalau drama ini ternyata sarana promosi pariwisata halal Korea Selatan. Saya pun terkagum-kagum dengan pemerintah Korea Selatan yang begitu kreatif dalam mengemas promosi pariwisatanya.
Sejak beberapa dekade terakhir Korea Selatan memang semakin hangat dibicarakan, terutama oleh para ahli makro ekonomi ikhwal keberhasilannya dalam bertransformasi menjadi negara maju. Dulu pendapatan per kapita Korea Selatan pada tahun 1960 hanya sekitar USD 1175. Nilai itu bahkan lebih rendah dibandingkan Indonesia yang saat itu pendapatan per kapitanya telah mencapai USD 1298. Namun sejak tahun 1980-an, Korea Selatan terus mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan dan relatif stabil dengan rata-rata pertumbuhan 8% per tahun. Hingga pada tahun 2014 pendapatan per kapitanya 3,5 kali lipat dibandingkan pendapatan Indonesia. Fenomena ini dikenal juga dengan “Keajaiban di Sungai Han”. Kegemilangan ini dimotori oleh keberhasilan Negara Gingseng tersebut dalam melakukan berbagai inovasi di berbagai sektor utamanya di sektor industri manufaktur.
Mengapa Bisa?
Charles Cobb (1875-1949) dan Paul Howard Douglas (1949-1967) dalam "Production Theory"memberikan perhatian khusus pada tingkat efisiensi. Menurut mereka pertumbuhan ekonomi, yang didefinisikan dengan pertumbuhan produksi barang dan jasa, dipengaruhi oleh tiga hal; tenaga kerja (labour), modal (capital) dan efesiensi (Efficiency).
Effiensi sendiri merupakan hilir dari berbagai macam ide dan kreativitas (innovation) yang timbul lalu diterapkan pada sektor perekonomian, sehingga produktivitas bisa semakin tinggi namun tetap murah dan ramah lingkungan. Dalam cakupan negara efisiensi ini harus ditata dan dikelola secara baik sehingga terwujud Sistem Inovasi Nasional (National Innovation System/NIS) yang berkelanjutan. NIS bisa juga difungsikan sebagai titik temu antara universitas atau lembaga penelitian selaku inkubator (think tank) dari berbagai inovasi dan ide kreatif, pemerintah selaku penentu kebijakan dan perusahaan swasta selaku pengguna dari inovasi yang dihasilkan. Konektivitas dan kolaborasi yang efektif dari ketiga pihak inilah yang nantinya akan terus menggenjot perekonomian untuk terus tumbuh secara berkelanjutan.
Saat ini di berbagai belahan dunia ada banyak negara yang masih terjebak dalam perangkap negara berpendapatan menengah (Middle Income Trap/MIT), apitet Korea Selatan dengan NIS-nya yang baik telah mampu beranjak naik kelas menjadi salah satu negara maju. MIT adalah suatu kondisi di mana suatu negara berpendapatan rendah (Low Income Countries) telah mencapai level ekonomi dan semakin baik menjadi negara berpendapatan menengah (Middle Income Countries) lalu terjebak dan sulit beranjak naik ke level yang lebih tinggi (High Income Countries).
Hal ini terjadi karena negara berpendapatan menengah pada saat bersamaan tidak hanya harus bersaing dengan negara maju pada satu sisi, tapi di sisi lain juga harus menghadapi kemungkinan adanya migrasi investasi dari negara berpenghasilan menengah menuju negara berpenghasilan rendah yang pada umumnya masih menerapkan upah rendah. Kesulitan dan impitan inilah yang menyebabkan banyak negara yang sulit beranjak dari status papan tengah, itulah mengapa fenomena dinamakan Middle Income Trap.
Negara yang mengalamani Middle Income Trap pada dasarnya telah mampu menempatkankan perekenomiannya pada papan tengah dengan pendapatan per kapita yang cukup baik. Peningkatan ini pada umumnya terjadi lewat investasi di berbagai sektor, peningkatan infrastruktur, pembukaan lapangan kerja baru sehingga menekan angka pengangguran yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan standar hidup. Namun “Ekstensifikasi Ekonomi”, atau upaya-upaya meningkatkan perekonomian dengan cara meningkatkan kapital, baik modal atau tenaga kerja, semacam ini belum cukup mampu mendorong perekonomian untuk terus tumbuh menjadi negara berpendapatan tinggi. Diperlukan “Intensifikasi Ekonomi” dengan melakukan inovasi dan menemukan cara-cara baru yang lebih efektif guna terus merangsang pertumbuhan ekonomi sebagaimana dilakukan oleh Korea Selatan.
Penerapan “Ekstensifikasi Ekonomi” secara terus menerus tanpa diimbangi inovasi akan cenderung menghasilkan pertumbuhan ekonomi konvergen pada level tertentu (middle income level). Ditandai dengan pertumbuhan industri sekunder yang lambat, diversifikasi industri yang terbatas dan kondisi tenaga kerja yang masih buruk. Hal ini dikarenakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang masih tertinggal oleh negara maju sehingga negara menengah pada umumnya tidak kompetitif di industri bernilai tambah (value-added industries).
Grafik 1 : Perkembangan Pendapatan Perkapita Beberapa Negara
World Bank mendefinisikan negara dengan pendapatan menengah ketika pendapatan nasional per kapitanya antara USD 10.000 - USD 12.000. Contohnya Brazil, Afrika Selatan dan Malaysia. Indonesia sendiri saat ini sudah termasuk dalamnya. Ketiga Negara ini (Brazil, Afrika Selatan dan Malaysia) sudah cukup lama berada dalam negara papan tengah. Dari Grafik terlihat bahwa sekitar tahun 1985-an ketiga Negara ini bersama Korea Selatan berada pada tingkat pendapatan perkapita yang hampir sama. Namun pada tahun 2014 Korea Selatan melesat jauh meninggalkan ketiga negara tersebut, terutama Afrika Selatan yang tampaknya sejak tahun 1960 pendapatan per kapitanya tidak jauh berubah.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Sebagai ‘saudara kandung’ Korea Selatan, karena sama-sama merdeka dari Jepang, Indonesia harus belajar dari Korea Selatan. Bangsa Indonesia harus benar-benar memperhatikan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) agar kelak negara ini memiliki SDM yang berdaya saing, kreatif dan inovatif. Dengan SDM yang kompetitif dan kreatif inilah Indonesia akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkesinambungan, terhindar dari Middle Income Trap. Terlebih Indonesia akan mendapatkan Bonus Demografi di mana jumlah usia produktif lebih tinggi dibanding usia non-produktif. Bisa dibayangkan apabila dengan jumlah SDM yang banyak dan berkualitas, ke depan Indoneaia akan jauh lebih maju dan Macan Asia akan kembali menujukkan taringnya.