Belum begitu lama pemerintah menambah usia pensiun Pegawai Negeri Sipil (PNS) dari usia 56 tahun menjadi 58 tahun. Bagi yang tengah memegang posisi dan merasa masih produktif, tentu ini disambut baik. Tapi bagi yang lagi berjuang untuk dapat posisi, tentu ini menghambat, karena seharusnya ada formasi lowong yang ditinggal pejabat yang pensiun, sehingga mereka harus memperpanjang kesabarannya.
Ada beberapa PNS yang usia pensiunnya lebih lama. Guru, dosen, dan pejabat tinggi, pensiun di usia lebih tua. Bahkan, seorang guru besar bisa aktif sampai usia 65 tahun. Kemudian, kalau melihat trend di negara maju, usia aktif pegawai sudah bergeser ke atas, sampai umur 65 tahun. Hal ini mengingat level kesehatan dan usia rata-rata penduduk makin meningkat, tapi laju angka kelahiran makin turun. Mungkin pertimbangan itu juga yang membuat pemerintah menaikkan usia pensiun, meski tingkat kelahiran di negara kita relatif masih tinggi dibanding negara maju.
Masalahnya, untuk yang bukan PNS, seperti pegawai BUMN dan swasta, haruskah menaikkan masa kerja aktif pegawainya? Sebagai catatan, rata-rata usia aktif di BUMN (ada lebih dari 100 BUMN yang saat ini beroperasi), adalah sampai umur 56 tahun. Ada yang punya kebijakan di usia 55 tahun, pegawai diberi fasilitas memasuki MPP (masa persiapan pensiun), yakni bebas tugas tapi dengan gaji penuh, lalu pas 56 tahun baru pensiun. Namun ada juga yang tanpa MPP. Sedangkan untuk swasta besar, rata-rata juga pensiun di usia 56 tahun. Namun ada juga swasta yang memakai sistem lumpsum, di mana saat pensiun pegawai menerima uang pesangon dalam jumlah besar sekaligus tanpa uang pensiun bulanan. Dengan banyaknya perusahaan pengelola DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan), banyak perusahaan swasta yang menyerahkan pengelolaan pensiun karyawannya ke DPLK yang disukainya. Dalam hal ini setiap bulan perusahaan membayar iuran ke DPLK, nantinya DPLK yang mengembangkan uang tersebut dan membayarkannya ke karyawan saat pensiun nanti, baik dengan sistem lumpsum, pensiun bulanan, maupun gabungan keduanya.
Dari sisi pegawai yang usianya mendekati 55 tahun, adanya kebijakan penambahan usia pensiun, mungkin akan disambut gembira. Pertama, karena pada dasarnya rata-rata secara fisik sampai berumur 60 tahun, masih bisa produktif. Meski harus diingat, semakin banyak pegawai berusia muda yang kena penyakit serius seperti kanker, stroke, atau serangan jantung. Kedua, banyak pula yang saat usia 55 atau 56 tahun, masih punya tanggungan anak yang kuliah, sementara penghasilan saat pensiun turun jauh dibanding saat aktif. Hal ini karena dasar perhitungan uang pensiun bulanan dihitung secara persentase dari gaji pokok, sementara banyak BUMN yang unsur gaji pokoknya relatif rendah, namun tinggi di unsur tunjangan dan bonus yang justru tidak menjadi dasar perhitungan pensiun. Ketiga, tidak banyak pegawai yang bisa mempersiapkan usaha baru untuk dikembangkan saat nanti pensiun. Ada memang yang punya rumah kos-kosan, warung, angkot, namun lebih banyak lagi yang tidak punya persiapan. Padahal ada BUMN yang membekali calon pensiunannya dengan pelatihan wirausaha, berkebun, beternak, dan sebagainya.
Tentu ada minoritas yang ingin tetap pensiun di usia 56 tahun, karena ingin bebas, ingin memperbanyak pekerjaan sosial dan keagamaan, atau ingin "menikmati" hidup dengan melakukan berbagai kesenangan, termasuk jalan-jalan. Demikian pula pegawai yang sekarang masih berusia kepala 4, tentu ingin tidak ada perubahan, agar mereka cepat bisa naik menggantikan posisi yang ditinggalkan senior yang pensiun.
Masalahnya, bagi perusahaan tentu akan menghitung untung rugi secara jangka panjang, dalam perspektif angka-angka keuangan. Rata-rata bila perusahaan tetap mempertahankan para senior untuk aktif, maka gaji yang dikeluarkan perusahaan akan lebih tinggi, karena dalam gaji pokok, ada sebahagian unsur yang selalu bertambah setiap tahun. Artinya, lamanya masa kerja ikut menyumbang kenaikan gaji. Kalau posisi tersebut diserahkan ke junior, maka unsur gaji pokoknya lebih rendah (meski tunjangan jabatannya sama). Maka kesimpulannya akan lebih hemat memberi tempat ke kader baru. Lagi pula, anak muda lebih suka tantangan ketimbang orang tua yang hampir pensiun, yang motivasinya sekadar cari selamat saja. Tapi sebetulnya ada juga biaya yang dihemat bila masa kerja ditambah, yakni perusahaan bisa menunda pengeluaran untuk merekrut pekerja baru. Dalam kondisi lagi ekspansif, mungkin lebih bagus menambah masa kerja pegawai karena ada formasi baru yang harus diisi. Masalahnya kondisi makro saat ini justru lagi lesu buat banyak perusahaan.
Nah, dengan analisis sangat sederhana tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam jangka pendek, belum akan ada perubahan ketentuan usia pensiun di perusahaan swasta dan BUMN. Banyak pegawai non-PNS yang tadinya mengira akan bekerja lebih lama lagi mengikuti jejak PNS, dan memang banyak rumor yang beredar yang memperkuat dugaan itu, mungkin harus siap-siap untuk menerima kenyataan bahwa tidak ada perpanjangan masa kerja. Namun demikian, secara pribadi, perkenankan saya berpendapat bahwa usia pensiun ideal adalah 58 tahun dengan argumen usia harapan hidup rata-rata penduduk Indonesia yang meningkat serta level kesehatan yang membaik, sehingga pada usia 56 sampai 58 tahun masih bisa mempertahankan produktivitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H