Lihat ke Halaman Asli

Irwan Rinaldi Sikumbang

TERVERIFIKASI

Freelancer

Kerukunan yang Terpelihara di Pulau Bali

Diperbarui: 13 Juli 2015   13:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Meski senang bepergian, baik dalam rangka tugas kantor, maupun untuk kepentingan pribadi saat libur atau cuti, selama bulan puasa dan di hari lebaran, saya lebih senang berada di home-base. Sejauh ini, saya baru punya 3 home base, yakni di Payakumbuh tempat orang tua berdomisili yang menjadi home-base dari saat saya lahir sampai menamatkan kuliah di Padang, kemudian sejak bekerja di Jakarta, home-base saya otomatis pindah juga ke Jakarta. Namun, saya pernah dipindahkan oleh dinas sejak Januari 1996 sampai September 1997 ke Denpasar, sehingga selama sekitar 2 tahun tersebut home-base saya adalah Denpasar.  Jadi, kalau bicara pengalaman berlebaran di hari pertama, yakni di tanggal 1 Syawal, saya hanya punya pengalaman di ketiga kota tersebut. Tapi pengalaman hari pertama puasa atau di tanggal 1 Ramadhan di samping di ketiga kota tersebut, saya juga pernah mengalami di Singapura (lagi kursus singkat dengan beberapa teman kantor), serta juga di Jayapura, Merauke, Maumere dan Kupang (semuanya karena lagi melakukan perjalanan dinas). O ya, saya pernah merasa sangat sedih ketika pertama kalinya berpuasa di awal Ramadhan tanpa makan sahur dan berbuka puasa bersama orangtua, saat saya ada jadwal kuliah dadakan di Padang (lazimnya awal Ramadhan diliburkan).

Kalau berlebaran, meski saya kuliah di Padang dan bahkan di awal bekerja di Jakarta, saya tetap pulang ke Payakumbuh. Barulah di lebaran tahun 1989 karena kondisi yang dalam proses penyembuhan karena sakit, pertama kalinya saya berlebaran jauh dari orang tua. Sedih sudah pasti. Namun sejak saya berkeluarga, saya terbiasa berlebaran di Jakarta, dan sesekali di Payakumbuh. Namun yang ingin saya tulis adalah pengalaman dua kali berlebaran di Denpasar, daerah yang penduduk muslim bukan mayoritas.

Saya tinggal di Jalan Diponegoro, salah satu jalan utama di Denpasar, dekat masjid An Nur. Shalat ied yang terdekat dari rumah adalah di lapangan Universitas Udayana di Jalan Sudirman. Sekarang lokasi shalat tersebut sudah menjadi pusat perkantoran Sudirman Square dan kampus dipindah ke Jimbaran. Apa yang saya alami, shalat ied di Denpasar sama saja dengan di Jakarta. Jamaah membludak. Baru setelah sampai di rumah, suasana lebaran tidak begitu terasa. Kecuali di beberapa tempat yang ramai kaum pendatangnya.

Eh, gak taunya di jam 2 siang datang satu rombongan besar teman kantor,  yang semuanya orang Bali yang notabene penganut Hindu. Sontak rumah terasa meriah. Ternyata itu merupakan budaya teman kantor untuk mendatangi rumah seluruh teman-teman yang berlebaran. Hal tersebut justru tidak lazim di Jakarta. Saling mengucapkan selamat idul fitri dan saling meminta maaf baru dilakukan saat hari pertama masuk setelah libur lebaran, karena di saat lebaran mayoritas karyawan mudik ke kampung masing-masing. Kalaupun ada budaya berkunjung ke rumah, itu sifatnya eksklusif di rumah pejabat tinggi, yang kalau di kantor saya disebut "open house" di rumah Bapak Direktur Utama. Tapi ini lebih bernuansa birokratis di mana yang datang kebanyakan hanya para pejabat atau rekanan.

Di Bali ternyata lain. Meski juga ada halal bi halal di kantor, berkunjung ke rumah di hari lebaran juga dilakukan. Hanya saja saya melakukan kesalahan karena terbawa gaya Jakarta yang cuek. Saya tidak datang sowan ke rumah bos saat beliau di lebaran ke 2 sudah berada di Denpasar setelah sehari sebelumnya beliau berlebaran di Malang. Saya sempat disindir beliau pas besoknya saat halal bi halal di kantor.

Soal kekompakan antar penganut agama yang berbeda tidak hanya terasa saat lebaran, di Hari Idul Adha pun karyawan yang beragama Hindu turun tangan ikut membantu menyembelih hewan kurban dan mendistribusikannya. Sementara teman-teman muslim juga ikut membantu dalam acara-acara khusus secara Hindu.

Sebagai orang Minang, kalau saya bertemu sesama orang Minang di Bali baik yang berprofesi pedagang maupun karyawan, saya langsung merasa dekat. Padahal di Jakarta kalau ketemu orang Minang, perasaan saya biasa-biasa saja, mungkin karena saking banyaknya orang Minang di Jakarta. Tak heran, di saat lebaran antar orang Minang saling berkunjung meski sebetulnya bukan terhitung famili. Ikatan perantau Minang di Bali cukup kompak. Ada perkumpulan orang Minang secara umum, ada juga yang khusus untuk yang berasal dari kabupaten tertentu saja.

Masyarakat Bali menurut saya sangat toleran terhadap pendatang dari suku apapun dan agama apapun. Tidak heran kalau orang asing betah berbulan-bulan menyewa bungalow kecil, bukan sekedar jalan-jalan beberapa hari. Artinya mereka sungguh menikmati keseharian di Bali. Hebatnya, meski banyak sekali pendatang domestik dan mancanegara di Bali, tata cara tradisional tetap terpelihara dengan baik. Berbagai ritual, termasuk arak-arakan upacara adat sering kita temui di berbagai tempat.

Jadi, bagi anda yang muslim dan karena sesuatu hal tinggal sementara di Bali, termasuk di saat bulan puasa dan lebaran, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Masjid tempat beribadah lumayan banyak, meski kalau di kota-kota kecil di luar Denpasar jumlahnya terbatas. Tempat makan halal juga amat banyak. Anda  bisa beribadah dengan tenang sambil tetap bisa menjalin interaksi secara baik dengan masyarakat setempat.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline