Sekarang ini sistem pembayaran non tunai makin berkembang dengan pesat, sampai-sampai menimbulkan pertanyaan apakah ke depan kita masih memerlukan uang tunai?
Kalau masih ada orang yang membanggakan dompetnya yang tebal berisikan puluhan lembar uang bernominal Rp 100.000, orang itu bisa dikatakan ketinggalan zaman.
Betapa tidak praktisnya jika untuk berbelanja harus menggunakan uang tunai. Risikonya pun besar, yakni gampang jadi incaran penjahat.
Tapi, kemudahan hidup dalam dunia digital saat ini bukan tidak ada kelemahannya. Lihatlah bagaimana perubahan perilaku berbelanja masyarakat.
Bukankah masyarakat menjadi lebih konsumtif, karena semua bisa dilakukan sambil rebahan. Kalaupun lagi tidak punya saldo di akun perbankan atau di dompet digitalnya, bisa menggunakan paylater.
Paylater adalah fasilitas yang diberikan kepada konsumen untuk bisa membeli barang yang diinginkannya saat ini, dan pembayarannya akan dilakukan kemudian.
Jelas, paylater itu sama dengan utang, yang akhirnya tanpa disadari akan "menggali kubur" si konsumen itu sendiri, bila ia tidak punya penghasilan yang cukup untuk membayarnya.
Nah, artikel ini bukan berpikiran mundur dengan mengatakan bahwa sistem uang tunai pada saat pembayaran digital semakin lazim dan masif, tampaknya perlu tetap dilakukan.
Kenapa pembayaran tunai jangan ditinggalkan? Karena kebiasaan membayar belanja secara tunai dapat mengerem hasrat untuk mengeluarkan uang lebih banyak.
Jadi, bagi yang mulai menyadari kalau pola hidup konsumtif sebenarnya tidak bagus bagi kesehatan finansialnya, dan ingin beralih menerapkan pola hidup hemat, mulailah kembali menggunakan uang tunai.
Sebuah studi dari Universitas Adelaide Australia yang diterbitkan di Journal of Retailing, seperti dikutip dari Sciencedaily, Rabu (8/1/2024), menemukan bahwa ketika menggunakan metode pembayaran non-tunai, individu cenderung menghabiskan lebih banyak uang saat berbelanja.