Ada dua julukan yang dulu berkonotasi negatif, yang berkaitan dengan orang yang belum menikah di usianya yang sudah terbilang tidak muda lagi. Istilah dimaksud adalah "bujang lapuk" dan "perawan tua".
Bujang lapuk artinya lelaki yang masih membujang pada kondisi tubuhnya yang sudah terlihat menua. Secara harfiah, lapuk artinya keropos, dan biasanya disematkan pada benda-benda yang terbuat dari kayu.
Perawan tua kurang lebih artinya sama dengan bujang lapuk, tapi ini khusus untuk perempuan. Memang, istilah ini terlalu memojokkan kaum hawa. Seolah-olah wanita hanya dihargai dari keperawanannya.
Kedua istilah di atas adalah julukan yang muncul pada era dahulu kala. Sekarang, mulai jarang istilah itu mengemuka di ruang publik, maupun di media massa atau media sosial.
Dulu, asumsi dasarnya adalah semua orang pasti menginginkan dapat jodoh dan menikah serta membangun rumah tangga.
Ketika itu, pada usia 20-an, sudah banyak yang menikah. Bahkan, di desa-desa usia menikah rata-rata lebih rendah lagi, yakni di usia belasan setelah akil baligh.
Jadi, jika ada orang yang sudah berusia di atas 30 tahun yang belum menikah, masyarakat beranggapan bahwa orang tersebut tidak laku.
Yang laki-laki tidak laku mungkin karena tidak punya pekerjaan. Sedangkan yang perempuan mungkin karena wajah dan penampilannya di bawah standar.
Tentu, jika seseorang mendapat julukan di atas, akan dianggap sebagai hal yang memalukan, baik bagi pribadi maupun keluarganya.
Nah, seiring dengan perkembangan zaman, sekarang terjadi fenomena angka perkawinan turun. Dan itu, banyak yang bukan karena mereka tidak laku.