Inilah ironi dalam persepakbolaan Indonesia. Di satu sisi, Timnas Indonesia lagi dipuja-puja berkat permainan yang memikat pencinta sepak bola nasional dalam pertandingan putaran ketiga kualifikasi Piala Dunia Zona Asia.
Timnas Indonesia yang didominasi oleh pemain naturalisasi membawa harapan, siapa tahu Indonesia berhasil menembus Piala Dunia 2026, meskipun masih panjang perjalanan yang harus dilewati.
Puja-puji terhadap belasan pemain naturalisasi, yang tadinya berpaspor Belanda dan sekarang sudah menjadi WNI, tak urung memantik komentar miring dari beberapa orang yang kontra naturalisasi.
Peter F Gontha sebagai misal. Mantan Duta Besar RI di Polandia itu berkomentar lebih baik kalah terhormat dengan pemain-pemain asli Indonesia, ketimbang menang tapi dengan pemain naturalisasi.
Namun, karena penggila bola yang pro naturalisasi sangat banyak, tentu saja Peter F Gontha mendapat serangan balik yang membuat ia kewalahan.
Begitulah, naturalisasi akhirnya menjadi cara instan yang menjanjikan. Tentu, yang dipilih adalah pemain yang berkualitas tinggi. Tidak seperti dulu, asal ada pemain Belanda berdarah Indonesia, segera dinaturalisasi, meskipun kualitasnya rendah.
Ironisnya, kualitas pemain naturalisasi dengan pemain lokal semakin timpang. Hal ini ditambah lagi dengan perilaku tidak sportif para pemain, termasuk juga wasit dalam pertandingan sepak bola di negara kita.
Hal itulah yang dipertontonkan Sabtu malam (14/9/2024) di Banda Aceh, pada pertandingan sepak bola Pekan Olahraga Nasional (PON) ke XXI.
Pada laga perempat final yang mempertemukan tuan rumah Aceh dengan Sulawesi Tengah (Sulteng) itu terjadi insiden yang sangat memalukan, ibaratnya menampar wajah persepakbolaan Indonesia.
Dari siaran langsung di layar kaca, pemirsa televisi sudah melihat ada kesan keberpihakan wasit pada tim tuan rumah.
Tapi, benar atau tidaknya, sebaiknya Komisi Disiplin PSSI atau Komisi yang membidangi perwasitan melakukan penyelidikan.