Berita tentang kecelakaan maut yang dialami oleh rombongan pelajar salah satu SMA di Depok, Jawa Barat, menjadi perbincangan hangat, terutama di lingkungan pelajar, guru, dan orang tua.
Jangan mengira yang memperbincangkan hanya warga Depok, tapi meluas ke berbagai penjuru tanah air. Soalnya, akibat musibah itu, banyak daerah yang membuat kebijakan mendadak.
Kebijakan dimaksud adalah mengeluarkan surat yang isinya melarang kegiatan study tour atau yang sejenis itu, bagi sekolah-sekolah yang ada di daerah tersebut.
Jelas, pelarangan study tour itu menimbulkan polemik. Soalnya, bukankah yang bermasalah adalah transportasi yang dipakai? Kegiatannya sendiri tidaklah bermasalah.
Pihak yang tidak setuju berpendapat, hanya prosedur dan pengawasan study tour yang harus diperbaiki, terutama dalam memilih bus yang betul-betul layak dan pengemudi yang terampil.
Sedangkan yang setuju pelarangan lebih melihat aspek ekonomisnya. Selama ini, terkesan pihak sekolah kecipratan keuntungan dari acara tersebut.
Di lain pihak, study tour seolah-olah wajib, padahal banyak juga orang tua pelajar yang kurang mampu membayar ongkos study tour.
Apalagi, bila misalnya acara yang banyak jalan-jalannya itu dikaitkan dengan perpisahan dan penyerahan ijazah bagi pelajar yang sudah lulus.
Memang, kebijakan pelarangan itu boleh dikatakan hal yang dilematis. Tujuannya tentu baik, yakni melindingi para pelajar dari kemungkinan terjadinya kecelakaan.
Tujuan lainnya adalah membebaskan orang tua dari pengeluaran yang relatif besar untuk membayar kontribusi peserta study tour.