Bulan Ramadan itu lomba beramal, bukan lomba belanja. Tapi, sering tanpa disadari, selama bulan suci seseorang menghabiskan rupiah yang lebih banyak untuk berbelanja.
Secara teori, karena berpuasa, seseorang seharusnya lebih sedikit membeli aneka makanan dan minuman ketimbang di luar bulan puasa.
Bukankah orang yang berpuasa hanya punya waktu makan yang sangat terbatas, yakni dimulai saat berbuka puasa dengan makanan kecil.
Kemudian, disambung makan nasi dengan aneka lauk setelah salat magrib. Setelah salat Isya dan tarawih, biasanya sudah waktunya untuk tidur.
Berikutnya, ketika waktu sahur, baru makan lagi dalam kapasitas yang tidak sebanyak makan setelah magrib.
Lalu, di mana logikanya bila seseorang sewaktu sore hari memesan aneka makanan, yang nantinya di waktu malam sebagian malah terbuang, karena tak sanggup lagi dimakan.
Itu baru soal makanan dan minuman. Belum lagi belanja yang lain. Misalnya, dalam rangka menyongsong lebaran, dirasa perlu membeli pakaian, sepatu, tas, dan sebagainya.
Hitung pula berapa uang yang dihabiskan untuk membeli oleh-oleh untuk dibawa mudik saat lebaran. Banyak pula yang membawa beberapa gepok uang baru.
Oleh-oleh tersebut dibagi untuk sanak famili di kampung. Sedangkan uang baru menjadi hadiah salam tempel lebaran, terutama bagi anak-anak yang bertemu saat lebaran.
Tentu, ongkos transportasi untuk pulang kampung dan kembali lagi ke perantauan, membutuhkan biaya yang besar.