Status yang melekat pada seseorang, yang menurut kacamata umum dianggap status yang terpandang, tentu akan mendatangkan kebanggaan pagi penyandang status tersebut.
Tapi, dari sisi lain, status tersebut bisa pula menjadi beban, karena mungkin tidak mudah untuk mempertahankan predikat yang telah disandangnya itu.
Dalam masyarakat jika dilihat dari status sosial, lazim ada 3 pengelompokkan, yakni warga kelas bawah, kelas menengah, dan kelas atas.
Memang, status tersebut lebih kepada persepsi subjektif yang bisa saja keliru. Umpamanya, seorang pemulung dilihat dari penampilan, biasanya dianggap masuk kelas bawah.
Padahal, bisa jadi pemulung barang bekas yang sukses, punya kekayaan yang melebihi seorang karyawan kantor.
Demikian pula orang yang bergaya parlente yang tinggal di rumah megah dan punya mobil mewah, belum tentu masuk kelas atas. Bisa jadi utangnya di bank sangat besar.
Dianggap sebagai warga kelas atas akan membuat seseorang sangat terpandang dan dihormati. Tapi, jumlah warga kelas atas relatif segelintir saja.
Maka, tulisan ini terfokus membahas warga kelas menengah yang umumnya bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS), karyawan tetap BUMN dan swasta, serta pelaku usaha yang mapan.
Baik, kita bahas terlebih dahulu soal kebanggaan menjadi warga kelas menengah, kira-kira apa saja alasannya.
Pertama, kelas menengah itu pertanda penyandangnya sudah punya pekerjaan tetap, baik di instansi pemerintahan maupun di perusahaan swasta yang tergolong bagus.
Bisa juga kelas menengah itu pelaku usaha, tapi bukan lagi kelas pedagang asongan atau kali lima. Mereka sudah punya tempat yang permanen dan sudah punya beberapa orang anak buah.