Citra polisi yang bekerja di jalan raya di zaman dulu, konon menakutkan bagi para sopir truk yang sering melintasi jalan antar kota antar privinsi (AKAP).
Di titik-titik tertentu mobil truk akan dihentikan polisi, kemudian seolah-olah sudah tahu sama tahu, sopir akan memberikan salam tempel sebelum dibolehkan melanjutkan perjalanan.
Dalam perjalanan jauh, karena ada beberapa titik penyetopan, maka uang jalan si sopir banyak habis untuk salam tempel. Akhirnya uang yang dibawa pulang si sopir menjadi sangat sedikit.
Ambil contoh dengan mengutip berita di Republika.co.id (25/4/2011) atau sekitar 13 tahun yang lalu, terkait dengan keluhan sopir truk yang melewati daerah Lampung.
Seorang sopir truk yang membawa kayu dari Bengkulu tujuan Tangerang mengatakan bahwa minimal harus memberikan salam tempel kepada oknum polisi Rp 20.000.
Celakanya, di sepanjang jalan lintas Sumatera wilayah Lampung saja, sedikitnya ada 10 kali si sopir tersebut memberikan uang kepada oknum polisi yang mangkal di pinggir jalan.
Artinya, si sopir menghabiskan Rp 200.000 agar truknya bisa jalan dan tidak diberhentikan untuk pemeriksaan. Rp 200.000 di tahun 2011, tentu jumlah yang cukup besar.
Tapi, bagaimanapun tentu tidak bijak menggeneralisasi polisi lalu lintas lain pun akan berlaku seperti itu.
Apalagi, untuk kondisi sekarang, citra polisi mulai semakin membaik. Bahkan, tak sedikit polisi yang malah memberikan makanan ke sopir truk yang lagi terkena masalah di jalan.
Masalah dimaksud umpamanya yang terkena kemacetan parah dan panjang, yang lagi mengalami kerusakan kendaraan, dan sebagainya.