Membaca tulisan I Ketut Suweca terkait pentingnya mencatat sewaktu mengikuti kegiatan kuliah (Kompasiana, 14/10/2023), menginspirasi saya untuk menuliskan pengalaman sendiri.
Saya kuliah S-1 pada awal dekade 1980-an, saat satu-satunya cara mencatat penjelasan dosen di depan kelas adalah menulis dengan tangan sendiri.
Maksudnya belum ada ponsel yang membuat penggunanya bisa mencatat dengan mengetik.
Juga belum ada posel yang bisa memotret tulisan dosen di papan tulis dan merekam suara dosen saat memberikan kuliah.
Kemudian di akhir dekade 1990-an saya mengikuti program S-2. Ponsel sudah ada ketika itu, tapi masih berukuran besar dan masih sedikit orang yang mempunyai.
Bagaimana cara mahasiswa yang malas mencatat sendiri atau yang malah mangkir saat kuliah? Ia bisa meminjam catatan temannya yang rajin mencatat, lalu pergi ke kios foto kopi.
Karena saya tergolong rajin mencatat, maka ada beberapa teman yang juga rajin meminjam catatan saya.
Tak masalah bagi saya jika foto kopi catatan kuliah saya beredar di beberapa orang teman, asal mereka bisa membacanya dengan baik.
Soalnya, agar apa yang diucapkan dosen bisa tercatat dengan lengkap, tulisan saya lebih mirip tulisan resep dokter alias bergaya cakar ayam.
Lagi pula, saya banyak menyingkat kata seenak saya sendiri, juga memakai simbol-simbol, semata-mata agar bisa mencatat secara cepat.