Baru-baru ini, ada 2 warga sipil yang mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) agar membatasi masa jabatan ketua umum dari suatu partai politik (parpol).
Kedua warga sipil dimaksud, seperti diberitakan Kompas.com (4/7/2023) bernama Eliadi Hulu dan Saiful Salim.
Namun, mempertimbangkan legal standing pemohon yang lemah, MK menyatakan permohonan uji materiil atas Undang-Undang (UU) yang terkait dengan parpol itu tidak dapat diterima.
Masa jabatan ketua umum parpol sekarang ini, termasuk juga pergantian pengurus di semua tingkatan, dilakukan sesuai Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) setiap parpol.
Adapun tuntutan kedua warga sipil di atas adalah mewajibkan AD dan ART partai mengatur masa jabatan ketua umum selama 5 tahun, dan hanya dapat dipilih kembali 1 kali dalam jabatan yang sama.
Sedangkan yang terjadi sekarang, parpol menetapkan masa jabatan ketua umumnya selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali tanpa membatasi berapa periode boleh memimpin.
Menurut pemohon, pembatasan masa jabatan ketua umum parpol penting untuk mencegah kekuasaan yang sewenang-wenang.
Pemohon beranggapan, parpol sebagai entitas penting dalam demokrasi, harusnya juga menerapkan salah satu asas utama negara demokrasi, yaitu pembatasan masa jabatan pemimpin.
Jika mengacu pada ketentuan yang diberlakukan untuk presiden, gubernur, bupati, dan wali kota, maksimal menjabat hanya selama 2 periode atau 10 tahun.
Itulah makanya, Presiden Joko Widodo tak bisa lagi dicalonkan oleh parpol manapun untuk kembali mengikuti Pilpres.
Padahal, melihat betapa banyaknya masyarakat yang menyukai gaya kepemimpinan Jokowi, jika saja beliau dibolehkan nyapres lagi, besar kemungkinan akan menang.