Membakar sampah sering dianggap sebagai jalan pintas yang praktis dalam menangani persoalan sampah di rumah-rumah. Padahal, sosialisasi penanganan sampah sudah cukup gencar.
Pada materi sosialisasi, antara lain mencakup agar warga melakukan pemisahan sampah sesuai jenisnya. Ada yang disebut sampah organik, anorganik, dan sampah B3 (bahan berbahaya dan beracun).
Artinya, masing-masing keluarga diharapkan punya beberapa tong sampah. Pemisahan tersebut juga berlaku saat meletakkan sampah di bak sampah untuk diangkut petugas kebersihan.
Tapi, kenyataannya yang kita lihat, sangat banyak warga yang menumpuk apapun jenis sampah di bak sampah di depan rumah mereka.
Bahkan, diduga cara inipun juga dilakukan oleh para petugas kebersihan di suatu kota yang pada tahap berikutnya dibawa ke tempat pembuangan akhir (TPA).
Di TPA tersebut sampah mencapai tahap terakhir dalam pengelolaannya, yakni dengan memroses dan mengembalikan sampah ke media lingkungan secara aman bagi manusia dan lingkungan.
Jelaslah, soal sampah itu soal berat. Cara mengukur kesuksesan seorang wali kota, sebetulnya tak perlu muluk-muluk dulu.
Bila sebuah kota berhasil mengelola sampah dengan benar, termasuk berhasil menanamkan kesadaran semua warga di kota tersebut, itu sudah pencapaian yang luar biasa.
Baik, kembali ke soal membakar sampah di rumah tangga, sebaiknya memang tidak usah dilakukan. Bukankah asap sampah tersebut bisa menganggu tetangga?
Tidak hanya tetangga, bahkan keluarga si pembakar sendiri terancam menghirup zat beracun yang terkumpul dalam asap.
Zat beracun tersebut berdampak negatif yang bisa menimbulkan gangguan pernapasan, iritasi, masalah kulit, dan bahkan bisa memicu kanker.