Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan bahwa Pemilu Legislatif (Pileg) 2024 mendatang tetap menggunakan sistem proporsional terbuka.
Artinya, pemilih dipersilakan memilih nama calon legislatif (caleg) yang disukainya. Tak masalah jika si caleg berada di nomor urut buncit dalam daftar caleg yang diajukan suatu partai politik (parpol).
Dengan demikian, yang lebih aktif berkampanye adalah para caleg secara personal, lebih aktif ketimbang kampanye dari pengurus parpol.
Kalau misalnya MK memutuskan kembali ke sistem proporsional tertutup, maka pemilih hanya memilih parpol yang dipercayanya, bukan memilih nama.
Misalnya akumulasi suara pemilih sebuah parpol di suatu daerah pemilihan cukup untuk 3 caleg parpol tersebut, maka yang akan dilantik sebagai wakil rakyat adalah calon nomor urut 1 sampai 3.
Adapun yang menempatkan apakah seorang caleg menduduki nomor peci (nomor kecil, peluang terpilihnya besar) atau nomor sepatu (nomor besar, peluang terpilihnya sangat kecil) adalah pengurus parpol.
Dengan sistem proporsional terbuka, seorang caleg tidak hanya bersaing degan caleg dari parpol lain, tapi juga dengan teman satu parpol.
Boleh-boleh saja kita mengatakan sistem proporsional terbuka lebih demokratis, meskipun masing-masing sistem sebetulnya punya kelebihan dan kelemahan.
Dan betul, dilihat dari sisi lebih banyaknya pilihan bagi pemilih, sistem terbuka jelas lebih baik, ketimbang pemilih hanya sekadar memilih parpol.
Nah, sekarang tinggal bagaimana mengupayakan agar kelemahan sistem proporsional terbuka ini bisa diminimalisir.