Hingga saya tamat kuliah S-1 di sebuah PTN di Sumatera, saya sama sekali tidak terpikirkan untuk merantau dan menjadi warga DKI Jakarta.
Sebagai sarjana ekonomi jurusan akuntansi yang di era 1980-an masih terbilang langka, saya langsung diminta menjadi dosen di almamater saya.
Ketika itu, lulusan S-1 sudah bisa jadi dosen sambil mempersiapkan mengikuti program pascasarjana.
Jadi, yang saya bayangkan, kehidupan yang akan saya jalani adalah adalah menjadi PNS di sebuah ibu kota provinsi. Bukan bekerja seperti dikejar waktu di Jakarta yang selalu macet lalu lintasnya.
Tapi, begitulah, karena SK PNS tak bisa langsung keluar, harus menunggu sekitar 1 tahun, iseng-iseng saya mengajukan permohonan kerja berdasarkan iklan di Harian Kompas.
Setelah melewati beberapa tahapan seleksi, saya diterima di sebuah BUMN yang bergerak di bidang keuangan.
Karena sejak awal saya ditempatkan di kantor pusat, maka resmilah saya menjadi warga ibu kota, yang kebablasan hingga sekarang.
Akhirnya, karena saya sudah terbiasa dengan kemacetan Jakarta, saya bisa menerima kondisi seperti ini.
Justru, kalau sesekali saya pulang kampung, setelah melewati satu minggu, saya mulai rindu dan menyanyikan lagu Koes Plus: "ke Jakarta aku kan kembali".
Sementara, teman-teman saya di perusahaan yang sama, namun penugasannya hanya dari satu daerah ke daerah lain, begitu dimutasi ke Jakarta, merasa sangat tidak betah.