Penutupan Silicon Valley Bank (SVB) oleh pihak regulator di California, Amerika Serikat (AS), Jumat (10/3/2023) yang lalu, memunculkan kekhawatiran, apakah akan berdampak ke Indonesia.
Untuk sektor keuangan di AS sendiri, dampaknya jelas tak terelakkan. Efek dominonya langsung terlihat dengan bangkrutnya Silvergate Bank dan Signature Bank (mediaindonesia.com, 14/3/2023).
Memang, bila mayoritas nasabah yang menyimpan dana di sebuah bank sudah tidak percaya dengan banknya, dan secara serentak menarik kembali dana mereka, tak ada bank yang mampu bertahan.
Kasus SVB membuktikan betapa rapuhnya bank yang fokus untuk memberikan pinjaman pada perusahaan-perusahaan teknologi dan usaha rintisan (start up).
Usaha startup dalam mengembangkan bisnisnya sangat terkenal dengan strategi bakar uang. Sehingga, tentu saja banyak yang merugi pada beberapa tahun awal pendiriannya.
Jika kondisi merugi tersebut berlama-lama, maka bank yang membiayainya akan ikut merugi, karena dana yang dipinjamkannya ke usaha rintisan tak kembali lagi.
Di lain pihak, nasabah yang menyimpan dana berupa deposito, karena khawatir dengan kebangkrutan bank, akan ramai-ramai mengambil uangnya.
Itulah yang terjadi di SVB. Padahal, nasabah penyimpan dananya sebagian besar adalah karyawan perusahaan teknologi dan perusahaan dengan dukungan modal ventura.
Sebagai karyawan startup, mereka tentu tahu bahwa bank yang meminjamkan dana ke perusahaan rintisan terancam bagkrut. Makanya, mereka buru-buru menarik uangnya di bank tersebut.