Kehidupan seseorang, terutama yang sudah jadi kepala rumah tangga, seakan-akan merasakan "kiamat" setelah terkena PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) di tempatnya bekerja sebelumnya.
"Hantu" PHK sebetulnya sudah beraksi ketika merebaknya pandemi Covid-19 di awal tahun 2020 lalu.
Belum usai pandemi, melatus perang Rusia-Ukraina. Akibatnya, hampir seluruh dunia merasakan dampaknya, berupa terganggunya produksi dan distribusi barang yang bernilai strategis.
Krisis pangan dan krisis energi pun terjadi, termasuk melanda Indonesia. Inflasi meningkat dan bahkan diprediksi bakal terjadi depresi.
Nah, dalam kondisi seperti itu, tentu saja banyak perusahaan yang kelimpungan. Untuk sekadar bertahan saja, sudah sulit.
Para pekerja dihantui oleh bayang-bayang PHK, karena lazimnya ketika harus mengurangi pengeluaran, pihak manajemen akan memilih pengurangan karyawan terlebih dahulu.
Tapi, bagi pekerja yang terkena PHK, meskipun dapat uang semacam pesangon, tetap akan dihadapi dengan perasaan galau dan cemas.
Apalagi, bila si pekerja sudah berusia di atas 35 tahun, relatif susah untuk mendapatkan pekerjaan baru.
Kecemasan yang berlebihan justru bisa berakibat lebih parah, karena berpotensi mendatangkan berbagai penyakit yang berkaitan dengan mental atau kejiwaan.
Makanya, berusaha tetap tenang, sabar, berpikir jernih dan selalu berdoa, menjadi hal yang mutlak.