Meskipun Pemilu 2024 masih relatif lama, tapi hiruk pikuk aksi para politisi di negara kita sudah begitu sering terlihat, bagaikan bersahut-sahutan.
Tentu saja setiap aksi tersebut akan menggelinding jauh karena ramai diberitakan di media massa dan juga media sosial.
Ya, hal itu wajar-wajar saja, mengingat jika suatu partai politik terlambat bergerak dibanding pesaingnya, mungkin akan merasa rugi.
Tidak masalah sebetulnya, gerak cepat seperti itu. Tapi, kita berharap agar para politisi bisa bermain dengan bersih, tidak mengarah melakukan korupsi politik.
Tentang korupsi politik, kita tentu sudah akrab dengan isitilah politik uang (money politic), yang artinya adalah upaya mempengaruhi perilaku pemilih dengan imbalan uang.
Jelas, politik uang pada dasarnya sesuatu yang tak bisa dibenarkan. Namun, dalam praktiknya ternyata sulit dihilangkan sama sekali.
Padahal, politik uang boleh dikatakan hanya salah satu jenis dari berbagai tindakan korupsi politik.
Jika korupsi yang tak terkait politik saja harus kita berantas, apalagi korupsi di bidang politik yang dampaknya menyangkut hajat hidup orang banyak.
Mantan Hakim Agung RI, almarhum Artidjo Alkostar, pernah mengatakan korupsi politik lebih berbahaya dari korupsi biasa.
Alasannya, korupsi politik adalah pelanggaran hak asasi rakyat. Dampaknya, hak-hak strategis rakyat bisa terenggut.
Korupsi politik itu sendiri cukup luas dijelaskan dalam laman Pusat Edukasi Antikorupsi (aclc.kpk.go.id).