Sebagai perantau berdarah Minang yang sudah puluhan tahun berdomisili di Jakarta, tentu saya sering berinteraksi dengan orang dari berbagai suku atau etnis.
Jakarta boleh dikatakan sebagai kotanya para perantau, mengingat orang Betawi sebagai etnis asli Jakarta bukan lagi menjadi mayoritas.
Tetangga saya ada yang orang Jawa, orang Batak, orang Mandailing, orang Sunda, orang Bali, orang Banjar, keturunan Tionghoa, dan sebagainya.
Tentu, masih ada tetangga saya yang orang Betawi, meskipun sebagian di antaranya telah menjual rumahnya dan pindah ke luar Jakarta, seperti Depok dan Bekasi.
Demikian pula di kantor tempat saya lama bekerja, dari pengamatan saya sekilas, yang terbanyak berasal dari berbagai daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Artinya, mereka bersuku Jawa. Tak heran, di kantor saya sering mendengar teman-teman saya berbicara dalam bahasa Jawa.
Bahkan, mungkin karena saya juga dikira orang Jawa, tak sedikit teman saya yang keceplosan berbicara dalam bahasa Jawa dengan saya.
Setelah saya terlihat bingung tak bisa menanggapi perkataannya, baru teman itu berbicara dalam bahasa Indonesia.
Ada satu pepatah lama yang sangat populer dan sangat relevan dengan keseharian para perantau, yakni: "di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung".
Peribahasa itu mengandung arti bahwa seseorang sudah sepatutnya mengikuti atau menghormati adat istiadat yang berlaku di tempat tinggalnya.
Hanya saja, khusus untuk di Jakarta yang semua etnis terwakili dan masing-masing punya banyak warga, adat istiadat yang berlaku di Jakarta tidak didominasi oleh suku tertentu.