Masa kecil saya sungguh terasa indah sekali yang saya jalani di Payakumbuh, Sumbar, dari separuh akhir dekade 1960-an hingga separuh awal dekade 1970-an.
Bermain bersama anak-anak tetangga, mulai dari main bola, main petak umpet, dan berbagai permainan tradisional lainnya, sungguh mengasyikkan.
Tapi, jika turun hujan, saya suka iri pada anak-anak tetangga. Mereka enak sekali main hujan, sementara saya dan adik-adik saya dilarang ibu. Akhirnya saya hanya menonton teman-teman yang terlihat gembira menikmati mandi hujan.
Ketika itu di usia sekitar 7-8 tahun, anak-anak cuek saja mandi hujan bertelanjang.
Cerita saya meloncat ke awal dekade 1990-an. Saya sudah berumah tangga, punya anak, dan menetap di kota metropolitan Jakarta.
Saya melihat bahwa apa yang dialami anak-anak saya sangat jauh berbeda dengan masa kecil saya.
Teman masa kecil anak-anak saya bukanlah anak tetangga, tapi teman sekolah, mulai dari saat masuk TK, SD, dan sekolah menengah.
Masalahnya, sebelum masuk TK, praktis anak-anak tidak punya teman sebaya.
Anak sulung saya lebih beruntung karena punya teman seusia yang tinggal persis di sebelah rumah saya.
Waktu anak tetangga disuapi ibunya makanan sambil main di luar rumah, biasanya anak saya juga ikut main.