Saya penggemar berat sepak bola nasional, bahkan sejak saya masih SD di awal 1970-an. Ketika itu belum ada siaran televisi yang bisa ditangkap di kota kelahiran saya, Payakumbuh, Sumbar.
Maka, setiap pertandingan Timnas Indonesia atau kompetisi antar klub perserikatan (belum ada klub profesional saat itu), saya mengikuti siaran langsung dari Radio Republik Indonesia (RRI).
Hingga sekarang, saya setia menonton melalui layar kaca pertandingan timnas senior dan semua timnas kelompok umur. Tentu, saya juga sering sekali menonton siaran langsung pertandingan Liga 1, bahkan juga Liga 2.
Jadi, saat Arema menjamu Persebaya (Sabtu malam, 1/10/2022) saya menonton dari awal hingga selesai. Saya juga sudah tidak sabar menunggu laga Persib vs Persija yang sedianya akan berlangsung Minggu sore (2/10/2022).
Tapi, seperti yang sudah sama-sama kita tahui, Liga 1 dihentikan sementara oleh PSSI sebagai buntut dari tragedi Kanjuruhan yang sangat mengerikan, karena melenyapkan nyawa 125 orang.
Dalam hal menanggapi kerusuhan di Kanjuruhan yang telah mencoreng wajah persepakbolaan nasional itu, saya punya pendapat yang berbeda dengan putra tertua saya.
Perlu diketahui, anak saya itu sangat tergila-gila dengan Liga Inggris, tapi kurang tertarik dengan Liga Indonesia. Kalau saya lagi menonton Liga 1, ia hanya melihat sekilas saja, lalu masuk ke kamarnya lagi.
Nah, anak saya terlihat sekali emosinya mengikuti berita berjatuhannya korban di Malang. Ada 2 pihak yang sangat disalahkannya, yakni PSSI dan polisi.
Menurutnya, jika saja polisi tidak menembakkan gas air mata, korban nyawa mungkin tidak ada. Oke, untuk hal ini saya bisa memahami pemikiran anak saya.
Tapi, saya berharap nantinya tim investigasi bisa menjelaskan lebih rinci, kenapa gas air mata yang dilarang FIFA malah digunakan.
Apakah jika itu tidak digunakan, akan sedemikian kisruh? Kita tunggu saja nanti kesimpulan tim investigasi yang sudah mulai bekerja.