Jika kita berbicara berdasarkan kondisi di era jadul, katakanlah hingga awal dekade 1970-an, sungguh tidak terbayang bahwa air minum kemasan bisa dibisniskan secara besar-besaran.
Ketika itu, yang namanya air minum atau sering disebut air putih, dimasak sendiri oleh penjual makanan dan diberikan secara gratis bagi mereka yang membeli makanan di rumah makan atau restorannya.
Bahkan, pedagang makanan keliling yang menggunakan gerobak pun, juga menyediakan air minum bagi pembeli yang menyantap makanannya di tempat si pedagang itu mangkal.
Kalau pedagang ingin mendulang keuntungan dari air minum, maka itu bukan berarti air putih atau air mineral, melainkan jenis tertentu seperti es teh manis, kopi susu, atau softdrink.
Hingga awal 1980-an, ketika itu saya tinggal di Padang, masih belum lazim adanya air minum dalam kemasan (AMDK) disediakan di rumah makan seperti yang sekarang kita jumpai.
Justru, penjualan AMDK ikut memberikan kontribusi keuntungan yang tak kalah besar kepada pedagang makanan, karena rata-rata dijual dua kali lipat dari harga pokoknya.
Tak heran, keuntungan yang didapat sebuah warung makan, komposisinya berimbang antara keuntungan dari makanan dan dari minuman.
Nah, kisah berikut ini, berdasarkan apa yang saya alami di Padang sekitar tahun 1983-1984. Ketika itu, sebagai mahasiswa kos-kosan dengan dompet tipis, tentu setiap makan di warung, saya harus pintar berhitung.
Sudah menjadi kebiasaan saya untuk sarapan di sebuah warung makan yang loksinya tidak jauh dari tempat saya kos.
Meskipun warung tersebut berupa bangunan semi permanen yang sederhana, tapi pelanggannya lumayan ramai, baik mahasiswa maupun orang kantoran.
Saya sering memilih lontong sayur gulai paku (paku maksudnya daun pakis). Tapi, mengingat kantong cekak itu tadi, saya selalu minta air putih.