Persiapan menjelang Pemilu 2024 sudah bergaung kencang. Bahkan, pembicaraan terkait kampanye pun mulai menghangat, meskipun siapa pasangan capres-cawapres yang akan bertarung, belum begitu jelas.
Namun, seiring dengan telah selesainya pendaftaran partai politik (parpol) yang akan ikut berlaga, yang nantinya ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) setelah diverifikasi, maka gaung Pemilu 2024 bergema makin kencang.
Satu hal yang menarik untuk diamati, tentang terjadinya pro dan kontra terhadapa wacana apakah kampus diperkenankan menjadi tempat ajang kampanye?
Kita semua tentu sepakat bahwa mahasiswa memang harus mengerti politik, meskipun tidak perlu ikut dalam politik praktis.
Karena mahasiswa mengerti politiklah, makanya kalau kita membaca buku sejarah, peran mahasiswa sangat besar untuk menggulirkan perubahan sehingga Indonesia menjadi seperti sekarang ini.
Dan itu terjadi sejak dulu, mulai dari pergerakan melawan penjajah Belanda, tumbangnya Orde Lama, hingga munculnya era reformasi mengganti rezim Orde Baru, semuanya karena ada kontribusi besar para mahasiswa.
Kritis, penuh idealisme, serta sering melakukan aksi demonstrasi menentang berbagai penyimpangan, begitulah citra mahasiswa. Sehingga, jelas mereka mau tak mau perlu memahami peta perpolitikan.
Kampanye di kampus tidak selalu sesuatu yang mengkhawatirkan, misalnya khawatir akan mendatangkan bentrokan antar mahasiswa yang berbeda capres atau parpol yang didukungnya.
Tentu, kalau akhirnya kampanye di kampus dilakukan, formatnya harus yang lebih aman dan nyaman. Bukan berformat orasi di panggung dengan meneriakkan yel-yel di hadapan massa.
Format kampanye yang baik, misalnya berupa diskusi terbuka yang bersifat ilmiah, dengan membedah visi dan misi masing-masing calon secara objektif.
Agar lebih efisien dari sisi penyediaan tempat dan alokasi waktu, format diskusi panel bisa digunakan. Para panelisnya wakil dari semua parpol (jika parpol terlalu banyak, bisa dibagi dalam beberapa tahap pelaksanaan).